Hari ini terasa special bagiku, hmm..mungkin karena materi perkuliahan sudah mulai membahas masalah “Personality” (Yaah, kata yang sudah tidak asing lagi ditelingaku sebagai seorang Sarjana Psikologi). Materi kuliah hari ini di Sekolah Guru Ekselensia Indonesia (SGEI) adalahPublic Speaking. Dan yang membuatnya lebih special lagi adalah materi tersebut dibawakan oleh seorang narasumber yang wajahnya hanya bisa kuliat dan kagumi kehebatannya melalui layar televisi. Semoga saja anda kenal dengan sosok Alfito Deannova, one of main anchor for tvOne news program.
Lalu apa yang menarik dengan sosok Alfito?Hehe..sebenarnya saya bukan mau bercerita tentang sosok Dia yang memang begitu berkompeten dibidangnya. Kali ini saya akan berbagi mengenai sebuah statement Alfito ditengah-tengah perkuliahan kami. Beliau sempat bercerita mengenai pengalaman SMA nya yang memilih jurusan Fisika tetapi sebenarnya tidak menyukai pelajaran tersebut. Alfito bercerita kalau Dia harus mempelajari sesuatu yang dia sendiri tidak tahu kenapa harus belajar itu?
Saya pun mencerna apa yang Alfito katakan, berusaha me-recallkembali long term memory ku dan menghadirkan suasana pembelajaranku di masa putih abu-abu 5 tahun yang lalu. Ahh.., ingin sekali rasanya kembali ke masa tersebut. Namun lamunanku segera buyar ketika Alfito berkata “Kenapa siswa-siswa kita tidak menikmati proses belajarnya..? Karena sebenarnya mereka tidak memahami mengapa mereka harus mempelajari pelajaran tersebut..! ”. Entah sadar atau tidak, saya menganggukkan kepala dengan cepat dan berulang-ulang kali ketika mendengar pernyataan Alfito tadi. Seolah-olah saya ingin mengatakan kepada Alfito bahwa “Yess..saya sangat setuju dengan apa yang dia katakan..!”.
Itulah yang terjadi dengan diriku teman…setelah bertahun-tahun,bagaikan sengatan listrik yang menyerang kepalaku..menyadarkanku..bahwa dulu..betapa saya tidak memahami untuk apa saya belajar. Wajar saja sampai sekarang saya tidak menyukai matematika, kimia, dan fisika..karena sesungguhnya, saya tidak memahami filosofi mempelajari mereka. Astagfirullah…Lalu siapa yang harusnya bertanggung jawab ketika siswa tidak memahami apa yang mereka pelajari..? Bisa jadi kesalahan tidak sepenuhnya berada pada siswa, namun saya pun tidak akan mengatakan bahwa guru lah yang harusnya bertanggung jawab. Tetapi kalau guru tersebut memang bijak, maka tanpa “tuduhan” itu pun dia akan mengakui bahwa harusnya seorang guru bisa mencerdaskan siswanya, bagaimana pun caranya!
Egoiss..yah?Hmm..mungkin iya..tapi memang seperti itu adanya. Dalam proses pembelajaran, guru memegang peranan yang sangat besar. Seorang teman pernah berkata, bahwa guru itu sendiri ibarat “Sutradara” dalam sebuah film. Siswa-siswa adalah aktornya, dan fasilitas di kelas atau sekolah adalah peralatan yang akan digunakan dalam film tersebut. Sang sutradara lah yang akan mengarahkan peran siswa tersebut. Bagaimana siswa menjadi actor atau aktris yang baik. Dan entah mengapa saya merasa guruku dulu tidak mengarahkan saya sebagaimana mestinya. Saya dan teman-teman setiap harinya disuguhi dengan materi pelajaran yang membuat saya berpikir “Kenapa saya harus mempelajari ini?”
Guru yang baik adalah guru yang mampu memberi pemahaman kepada siswanya untuk apa siswa tersebut belajar dan menuntut ilmu. Sehingga proses pembelajaran akan lebih bermakna. Belajar tentu saja bisa bermakna bagi siswa apabila bisa mengalaminya, tidak sekedar mengetahuinya. Karena pembelajaran yang berorientasi sekedar “tahu” bisajadi hanya mampu tersimpan oleh short term memory siswa. Namun, kurang mampu menjadi problem solver dalam kehidupan yang lain. Sebenarnya guru bisa memulainya dengan contoh-contoh sederhana untuk memahamkan siswa dengan pendekatan kontekstual.
Sudrajat (2010) menyatakan bahwa Pendekatan kontektual (Contextual Teaching and Learning /CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, ketika guru saya mengajar tentang jenis-jenis tumbuhan paku pada mata pelajaran Biologi di kelas 1 SMA dulu. Bisa saja guru tersebut mengajak saya dan teman-teman ke sebuah daerah yang disana saya bisa melihat langsung ratusan jenis tumbuhan paku (aahh..sekali lagi! sayang seribu saying..kami cumabisa mengetahuinya melalui gambar di buku cetak). Padahal, kemampuan seseorang untuk belajar bisa mencapai90 % dari apa yang ia katakan dan lakukan.
Siswa dapat belajar dari mengalami sendiri dan merekonstruksi pengetahuan tersebut, sehingga memberikan pemahaman yang lebih bermakna. Sedangkan guru berfungsi sebagai fasilitator dalam belajar yang mempertemukan pengetahuan lama dan baru siswa. Harapannya, kelas tersebut akan menjadi kelas yang lebih bersemangat, hidup dan aktif, siswa belajar mengemukakan apa yang mereka pikirkan dan rasakan, sehingga melatih siswa untuk berpikir kritis, kreatif, dan lebih merakyat (hehe..maksudnya pembelajarannya lebih dekat dengan kehidupan nyata). Eiiitss..hampir lupa, tentu saja pembelajaran kontekstual juga akan menciptakan perubahan perilaku pada siswa. Misalnya, ketika akan mengajarkan makna bersyukur kepada siswa SD. Guru bisa mengajak siswanya untuk mengunjungi panti asuhan, pemukiman kumuh, atau ke tempat-tempat yang memungkinkan siswa untuk memposisikan diri mereka sebagai orang yang lebih beruntung.
Hmm..Subhanallah..! Seandainya pembelajaran saya dulu seperti itu yah..! Naah..berawal dari kisah saya tadi, sehingga saya bertekad untuk menjadi guru yang “baik” bagi siswa saya (supaya mereka tidak merasakan apa yang saya rasakan,hiks..hiks..T_T). Amin Yaa Aliim..mudahkan hamba-Mu ini dalam mengajarkan ilmu-Mu..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H