Indonesia.
Negeri kaya sumber daya alam, kaya keindahan alam, subur, yang penduduknya (diharapkan) makmur.
Apa iya?
Terus terang saya senang sekaligus miris dengan artikel HL hari ini. Senang, betapa sate menjadi primadona di Milan sono. Yang desain paviliun Indonesianya mengambil ide dari bubu, alat tangkap ikan. Yang maskotnya adalah badak. Mirisnya saya adalah karena bubu dan badak termasuk hal yang (hampir) punah bahkan dari bumi Indonesia sendiri!
Saya sering sedih ketika ada kampanye menggunakan batik, kampanye melestarikan tari daerah, kampanye perhiasan etnik. Walaupun pada akhirnya kampanye tersebut berhasil menaikkan kesadaran masyarakat Indonesia untuk kembali menggemari batik, atau mengenakan perhiasan etnik. Sedihnya saya itu seperti lihat anak kecil yang dikasih kue lapis surabaya nan lezat, tapi tidak dihiraukan dan baru nangis ketika ada anak lain yang memakan kue yang menganggur itu.
Lalu bagaimana dengan kampanye rapat singkong rebus, atau kampanye tari daerah? Itu hanya jadi bahan jualan basi karena pada kenyataannya hal tersebut kurang menarik (eksotis?) dan malah programnya nggak jalan sama sekali. Singkong rebus nggak jelas nasibnya, sementara tari daerah hanya dipakai sebagai pemanis. Di Bali ini semua orang bisa menari. Tapi justru karena itu, tiap kali tari daerah ditampilkan para turis saja yang kagum menyaksikan. Wisatawan lokal biasanya malah cuek, asyik sendiri, sementara penarinya juga mungkin sudah kehilangan gairah dan menari sebagai rutinitas gerak. Kehilangan ruh.
Masih juga saya sakit hati dengan kostum Borobudur yang dikenakan oleh Putri Indonesia di ajang Miss Universe Peagant 2015. Saya sangat kagum dengan Dynand Fariz yang mendesain kostum tersebut, dan bangga ketika kostum itu menyabet penghargaan Kostum terbaik Nasional. Tapi lhooo, bahkan oleh sebagian (kecil) masyarakat Indonesia menilai bahwa Borobudur adalah peninggalan jaman purba dan harus diluluh tantakkan. Ini yang bikin menangis!
Dan, apakah kita bangga dengan hewan asli Indonesia? Waktu saya ke kebun binatang, anak-anak kecil hanya mau melihat orangutan saja, disorakin ketika melihat mamalia cerdas itu dengan terlatihnya membuka kelapa engan tangan saja. Mereka mana mau melihat Binturong yang bau, Komodo yang mandi matahari dengan diam, Phyton Curtus yang diang melingkar? Yang mereka suka lihat itu orang utan yang pandai dan harimau Sumatra yang gagah. Mereka hanya suka melihat, tanpa berpikir kalau kedua hewan itu hampir punah tanpa bisa dicegah, tanpa berpikir bagaimana melestarikan hewan asli Indonesia tersebut. Anak jaman sekarang juga manalah tahu dengan 'naga terbang'nya Indonesia, kalau di tempat saya disebut Klarap (Draco volans)? Dan sebagian penduduk Bali kini juga kurang peduli terhadap nasib Anjing Bali (Balinesse Dingoes), yang mana anjing-anjing tersebut jadi korban tabrak lari dan penelantaran.
[caption id="attachment_382493" align="alignnone" width="800" caption="ilustrasi anjing bali, naga terbang, dan kucing kampung."][/caption]
Saya dulu berharap seandainya Indonesia kembali lagi ke 'asal', maksud saya ke tepo seliro, saling berempati, bersimpati, berakar kuat pada asal-usul dan budaya, tanpa dapat dengan mudah dipecah-belah atas nama kepentingan, suku, golongan, agama. Sehingga nantinya Indonesia akan menjadi kepribadian, bukan lagi hal yang 'hanya di-kayakan' kalau lagi ada pagelaran internasional.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H