Mohon tunggu...
Nanda Novatianto
Nanda Novatianto Mohon Tunggu... Jurnalis - Hanya menulis

Mencintailah saat dirimu sudah bisa menghargai

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pak Ogah Berkaki Satu yang Berjuang Menghidupi Keluarga

19 September 2017   22:20 Diperbarui: 19 September 2017   22:46 592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Ketika kamu berfikir untuk menyerah, ingatlah, Tuhan tak akan berikan berikan cobaan melebihi kemampuanmu, Tuhan hanya menguji kesabaranmu," Ungkapan tersebut sangatlah cocok dan tepat bila ditujukan kepada satu lelaki renta yang bernama Pardi. Pardi ialah seorang sukarelawan pengatur lalu lintas (SUPELTAS) atau biasa kita sebut dengan "pak ogah" maupun "tukang parkir". Berusia 64 tahun dan tinggal seorang diri dalam sebuah gubuk yang berada di Kota Tangerang membuat dirinya harus berjuang keras demi memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya yang berada di Kota Pandegelang.

Di Kota Tangerang, tepatnya setelah melewati flyover Jatiuwung (dari arah Bitung) pasti kita bisa menjumpai Pardi saat pagi hari. Ya benar, disanalah tempat Pardi mengais rezeki dari pemberian uang para pengendara yang ingin memutar arah. ia bisa mendapatkan 40 sampai 50 ribu rupiah dalam sehari, terkadang hanya 15 ribu jika jalanan sepi dari kendaraan.  Akan tetapi ada yang berbeda dari lelaki renta yang satu ini, tidak seperti SUPELTAS pada biasanya, Pardi hanya mempunyai satu kaki dan di bantu oleh tongkatnya untuk berjalan serta bekerja  membantu mengatur lalu lintas.

Dulunya Pardi ialah seorang kernet bus malam tujuan Merak-Yogyakarta. Pada tahun 1986, saat ia berumur 34 tahun kecelakaan yang merenggut satu kakinya itu terjadi. Awal kejadian ialah saat Pardi menyadari rekan kerjanya (supir bus) terlihat mengantuk dan sudah tidak fokus membawa kendaraan, sebagai kernet dan baru lulus ujian mengemudi bus Pardi berniat baik dengan cara menawarkan kepada  rekannya itu untuk digantikan saja, akan tetap rekannya menolak dan tetap memaksakan untuk tetap mengemudi dikarenakan belum percaya sepenuhnya kepada Pardi.

Selanjutnya malapetaka itu pun terjadi, saat Pardi sekedar istirahat untuk memejamkan mata, bus yang ia tumpangi mengalami kecelakaan secara adu banteng di Pamanukan, Subang. Anehnya Pardi tidak menyadari bahwasannya bus yang ia tumpangi mengalami kecelakaan, saat terbangun Pardi sudah mendapati bahwasannya kakinya sudah di potong sebelah. Saat terbangun ia bertanya kepada perawat yang berada di sekitarnya apa yang sebenarnya telah dialami dirinya. Perawat itu menjawab dan menjelaskan apa yang telah terjadi berdasarkan penuturan dari saksi mata yaitu salah satu penumpang bus yang berada satu bus dengannya.

Setelah insiden itu, Pardi juga menyadari bahwa rekan kerjanya telah berpulang saat kejadian "bus vs truk" yang terjadi di Pamanukan saat itu. Bak sudah jatuh tertimpa tangga pula, di pecat dari tempat ia bekerja juga dialami Pardi karena syarat dari perusahaan tempat ia bekerja di haruskan sehat jasmani dan rohani serta tidak cacat satu apapun. Kejadian itu membuat Pardi dan keluarga sangat terpukul, membuat dirinya bingung harus bagaimana selanjutnya melanjutkan kehidupan dan menghidupi keluarganya.

Di saat - saat seperti ini, Pardi menyerahkan semuanya kepada sang pencipta. Ia berpasrah diri, selalu berdoa dan tawakal atas apa yang menimpa dirinya, karena ia percaya bahwa Tuhan tak akan menguji hambanya melebihi batas kemampuan hambanya. Ia terus beribadah walaupun hanya dengan menggunakan satu kakinya dengan sangat rajin dan tak pernah mengeluh sedikitpun.

Tahun demi tahun berlalu, sempat ia dan keluarganya membuat sebuah rumah makan akan tetapi karena lokasi yang kurang strategis membuat rumah makan yang ia dirikan menjadi bangkrut.  Menjadi pengumpul barang bekas dan hingga yang terbaru saat ini ialah menjadi seorang SUPELTAS rela ia jalani demi memenuhi kebutuhan dan membuat keluarganya bahagia.

Sejak dulu belum ada bantuan yang datang dari pemerintah setempat kepada dirinya. Akan tetapi ia tetap optimis dan bertekad akan terus berjuang serta bersyukur dengan apa yang ia miliki saat ini, karena ia percaya bahwasannya saat ia bersyukur, nikmat yang ia dapatkan akan bertambah secara terus menerus.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun