"Tenang, tenang," Andi bergumam pada dirinya sendiri, mencoba tetap kalem. "Aku pasti bisa menemukan kafe ini sendiri. Aku tahu kok arahnya."
Episode 3: Sesat di Dunia Nyata
Berbekal optimisme dan ingatan samar-samar dari aplikasi peta yang dia buka tadi, Andi melanjutkan perjalanan. Sepuluh menit pertama berjalan mulus, tapi kemudian muncul masalah: Andi mulai ragu. "Tadi beloknya di kanan atau kiri, ya?" pikirnya. Tanpa navigasi GPS, otak manusia yang sudah terbiasa dimanjakan teknologi ternyata tidak secerdas yang dia kira. Seolah-olah semua memori arah yang dia ingat menguap begitu saja.
Dalam kebingungan, Andi mencoba bertanya pada orang-orang di sekitar. Namun, di zaman ini, siapa yang benar-benar tahu lokasi kafe kecil di gang tersembunyi? Setiap orang yang dia tanya memberikan jawaban yang berbeda. Ada yang menyuruhnya lurus, ada yang menyuruhnya belok kiri, dan bahkan ada yang berkata, "Oh, kafe itu? Saya rasa sudah tutup sejak tahun lalu!"
Andi mulai merasa panik. Sementara itu, waktu terus berjalan. Pikirannya mulai dipenuhi dengan bayangan Ani yang mungkin sudah duduk di kafe, menunggunya dengan cemas, berpikir bahwa Andi telah mengabaikannya. Ini bukan sekadar ketakutan biasa, ini adalah tragedi digital.
Episode 4: Kafe yang Tak Kunjung Ditemukan
Setelah sekitar 20 menit tersesat di jalan, Andi akhirnya sampai di sebuah kafe. Namun, alih-alih merasa lega, ia merasa ada yang janggal. Kafe ini tidak seperti yang di foto---bukan kafe modern dengan lampu neon dan sofa empuk, melainkan kafe tradisional yang bahkan tidak punya Wi-Fi!
"Salah tempat," pikir Andi sambil menghela napas. Dia pun keluar dan berkelana lagi, kali ini dengan langkah yang lebih cepat. Tidak ada yang lebih buruk daripada terlambat ke kencan pertama, apalagi dengan baterai ponsel yang sudah tidak berfungsi.
Waktu terus berjalan, dan setelah pencarian tanpa hasil, Andi akhirnya menyerah. Ia memutuskan untuk kembali ke kafe pertama, tempat yang setidaknya bisa memberinya kesempatan untuk meminjam charger dari pelayan.
Saat ia kembali ke kafe, ia langsung disambut oleh seorang barista ramah. "Mau pesan apa, Mas?" tanya barista tersebut.
Andi tidak langsung menjawab, melainkan menatap penuh harap. "Mas, di sini ada charger nggak?"
Barista tersebut tertawa kecil. "Oh, maaf, di sini nggak ada colokan, Mas. Kafe ini sengaja dibuat biar orang-orang bisa ngobrol tanpa gangguan gadget."
Bagi Andi, ini adalah pukulan terakhir. "Kafe tanpa colokan?! Apa gunanya?!"