Wulan duduk di sudut ruang tamu, menatap kosong pada secangkir kopi yang kini mulai mendingin di atas meja. Pikirannya melayang jauh, menembus batas waktu dan ruang, hingga kembali ke momen pertama ia bertemu dengan Damar. Kala itu, Damar yang tampak gugup dan lelah setelah acara wisuda, mengucapkan terima kasih padanya. Sejak saat itu, sebuah simpul tak kasatmata mengikat mereka berdua dalam pusaran perasaan yang sulit dijelaskan.
Hari demi hari berlalu, hubungan Wulan dan Damar semakin erat. Awalnya, hanya sekadar obrolan ringan tentang kehidupan sehari-hari, tentang keluarga, dan tentang mimpi-mimpi yang mereka pendam dalam diam. Namun, di balik setiap kata yang terucap, ada getaran yang tak dapat diabaikan. Mereka tahu, apa yang mereka jalani adalah ilusi, sebuah fatamorgana yang hanya akan menghilang ketika matahari kebenaran terbit. Namun, rasa itu begitu kuat, menjerat mereka dalam labirin perasaan yang tak bertepi.
Wulan menyadari, setiap kali ia menatap Damar, ada bagian dari dirinya yang berbisik, "Ini salah." Tapi bagian lain, yang lebih dalam, yang lebih rapuh, memohon agar ia tetap bertahan, agar ia menikmati setiap detik kebersamaan itu, meski hanya sekejap. Damar pun demikian, terkadang ia ingin pergi, memutuskan hubungan yang kian menyesakkan dada. Namun, ketika melihat senyuman Wulan, semua keinginan itu lenyap, seakan ditelan oleh kabut perasaan yang terlalu pekat untuk diterobos.
Suatu hari, saat Wulan sedang menyiapkan pesanan catering bersama Kencana, ia menerima pesan dari Damar. Pesan itu singkat, hanya berisi satu kalimat: "Bisakah kita bertemu hari ini?" Hati Wulan berdebar, tapi ia tahu, ia tak bisa terus begini. Ia tak bisa terus hidup dalam ilusi, sementara realitas perlahan-lahan menggerogoti jiwanya.
Sore harinya, mereka bertemu di taman dekat kampus, tempat pertama kali mereka berbicara dari hati ke hati. Damar duduk di bangku, menatap hamparan hijau yang terbentang di depannya, namun pikirannya penuh dengan kekacauan. Ketika Wulan tiba, mereka tak saling bicara untuk beberapa saat. Hanya ada keheningan yang menggantung, seolah memberi mereka waktu untuk memikirkan kata-kata yang tepat.
"Wulan," Damar akhirnya memecah kesunyian, suaranya serak dan penuh keraguan. "Aku tidak tahu sampai kapan kita bisa terus begini."
Wulan menunduk, merasakan desiran angin yang menyapu rambutnya. "Aku tahu, Dam. Aku tahu kita tidak bisa terus hidup dalam bayangan. Tapi..."
"Tapi aku tak bisa melepaskanmu," Damar menyela, matanya basah oleh emosi yang telah lama dipendam. "Setiap kali aku mencoba, rasanya seperti ada bagian dari diriku yang hilang."
Wulan mengangguk, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Aku juga merasakannya, Dam. Tapi... kita harus kuat. Kita harus memilih jalan yang benar, meski itu berarti kita harus saling melepaskan."
Keputusan itu memang pahit, namun mereka tahu, itu adalah satu-satunya cara agar mereka dapat kembali menemukan diri mereka yang hilang dalam ilusi ini. Mereka berdua berdiri, saling menatap untuk yang terakhir kalinya. Dalam tatapan itu, ada sejuta kata yang tak terucap, sejuta rasa yang tak pernah terungkap. Mereka berjalan ke arah yang berlawanan, meninggalkan taman itu dengan langkah berat, membawa kenangan yang tak akan pernah hilang, meski waktu terus berjalan.
Malam itu, Wulan duduk di sudut ruang tamu yang sama, menatap kosong pada cangkir kopi yang baru ia buat. Kopi itu terasa hambar, seperti hatinya yang kini kosong. Ia tahu, ini adalah akhir dari sebuah perjalanan yang penuh liku, namun ia juga tahu, ini adalah awal dari perjalanan baru untuk menemukan kebahagiaan sejati, yang tak lagi diwarnai oleh ilusi tak bertepi.