Seorang kawan pernah mengutarakan kekesalannya lantaran setelah 4 tahun bekerja, dan memutuskan untuk mengundurkan diri dari perusahaannya, dia hanya mendapat gaji terakhir ditambah uang penggatian cuti yang belum diambil. Usut punya usut, biang keladi dari masalah ini adalah penafsiran yang dimuat dalam Surat Menteri Tenaga Kerja No. B.600/MEN/Sj-Hk/VIII/2005 tertanggal 31 Agustus 2005 (“Surat B.600/2005).
Surat B.600/2005 ini memberikan penafsiran yang dijadikan dasar bagi perusahaan untuk tidak memberikan hak Pekerja yang mengudurkan diri atas Uang Penggantian Perumahan Dan Pengobatan yang besarnya 15%. Dari Uang Pesangon dan/atau Uang Penghargaan Masa Kerja (“UPMK”). Kurang lebih Surat B.600/2005 berisi sebagai berikut :
1.Pekerja/ buruh yang bersangkutan tidak berhak atas Uang Pesangon sebagaimana dimaksud pada pasal 156, ayat (2) dan UPMK sebagaimana dimaksud dalam pasal 156 ayat (3). undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
2.Pekerja/ buruh yang bersangkutan berhak atas uang penggantian hak sesuai dengan pasal 156 ayat (4) dan uang pisah.
3.Uang penggantian hak sebagaimana dimaksud pada angka 2 meliputi:
a.cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b.biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat di mana pekerja/ buruh diterima bekerja;
c.Penggantian Perumahan Serta Pengobatan dan perawatan sebesar 15% (lima belas per seratus) dari uang pesangon dan atau UPMK bagi yang memenuhi syarat.
d.Hal-hal yang disepakati dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
4.Oleh karena pekerja/buruh yang mengundurkan diri tidak mendapatkan uang pesangon dan UPMK maka pekerja/ buruh yang bersangkutan tidak mendapatkan penggantian uang perumahan, serta pengobatan dan perawatan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4)
Bagi kawan saya itu, Uang Penggantian Perumahan dan Pengobatan yang besarnya 15% dari uang pesangon dan/atau UPMK, akan sangat berarti baginya yang hendak memulai usaha sendiri. Namun karena Surat B.600/2005 ini, kawan saya harus mencukupkan diri dengan pinjaman yang sudah dipegangnya. Pertanyaannya, apakah memang Pekerja yang mengundurkan diri tidak berhak atas Uang Penggantian Perumahan Dan Pengobatan? Saya punya 2 alasan mengapa Pekerja berhak atas uang tersebut.
1.Hak Tersebut Diatur Dalam Pasal 162 ayat (1) UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU 13/2003”)
Surat B.600/2005 prinsipnya mengatakan bahwa memang Pekerja yang mengundurkan diri berhak atas Uang Penggantian Perumahan Dan Pengobatan yang besarnya 15% dari Uang Pesangon dan/atau UPMK. Namun karena Pekerja yang mengundurkan diri tidak berhak atas uang pesangon dan UPMK (uang pesangon dan penghargaan masa kerja = 0), maka besaran 15% itu harus dikalikan nol, sehingga hasil pengalian itu adalah nol, alias tidak ada Uang Penggantian Perumahan Dan Pengobatan yang bisa di bawa pulang.
Penafsiran di atas jelas menguntungkan pengusaha, itu sebabnya pengusaha memberlakukannya. Namun, apakah penafsiran ini sudah sesuai dengan maksud yang terkandung dalam undang-undang?
Hak Pekerja yang mengundurkan diri diatur dalam Pasal 162 UU 13/2003. Dalam ayat 1 Pasal tersebut diatur bahwa pekerja yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, memperoleh Uang Penggantian Hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). Uang Penggantian Hak, sebagaimana dimaksud dalam pasal ini, terdiri dari 1) cuti tahunan yang belum diambil, 2) ongkos pulang buruh dari lokasi bekerja, serta 3) Uang Penggantian Perumahan Dan Pengobatan, juga 4) hal-hal lain yang disepakati di perjanjian kerja.
Sebenarnya Pasal 156 ayat (4) juncto Pasal 162 ayat (1) UU 13/2003 tidak mengatur bahwa Uang Penggantian Perumahan Dan Pengobatan dihitung dari dari uang pesangon atau UPMK yang diterima oleh Pekerja yang mengundurkan diri. Oleh karena itu, Pasal tersebut harus ditafsirkan bahwa penghitungan Uang Penggantian Perumahan dan Pengobatan adalah sebesar 15% dari Uang Pesangon dan/atau UPMK yang bisa diterima oleh Pekerja apabila Pekerja tersebut di-PHK dengan alasan lain.
2.Surat B.600/2005 Bukan Peraturan Perundang-Undangan
Dilihat dari tahun terbitnya, Surat B.600/2005 berada pada periode rezim Undang-undang No.10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (“UU 10/2004”). Dalam Pasal 7 ayat (4) jo. Penjelasan ayat (4) UU 10/2004 dapat disimpulkan bahwa setiap peraturan yang diterbitkan oleh Menteri dalam rezim UU 10/2004, hanya diakui dan mempunyai kekuatan hukum mengikat jika diperintahkan oleh peraturan yang lebih tinggi.
Pasal 7 ayat (4)
Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Penjelasan Pasal 7 ayat (4)
Jenis Peraturan Perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, kepala badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentak oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Meski UU 10/2004 kini sudah digantikan dengan Undang-undang No.12 tahun 2011, namun tetap bisa disimpulkan bahwa Surat B.600/2005 tidak diterbitkan untuk ‘mengatur’ dan bukan termasuk Peraturan Perundang-undangan yang bisa dijadikan landasan hukum untuk mengebiri hak Pekerja yang mengundurkan diri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H