Mohon tunggu...
Seno Kristianto
Seno Kristianto Mohon Tunggu... Guru - Guru/SMP Van Lith Jakarta

Pendidik yg jg menikmati sosial, budaya, sejarah, dan filsafat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Andaikan Jadi Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah

27 Oktober 2024   21:45 Diperbarui: 27 Oktober 2024   22:09 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sejak orde baru sampai saat ini sudah ada 7 presiden dengan 16 menteri pendidikan di Indonesia. Rentang waktu yang cukup lama itu masalah klasik di bidang pendidikan yang selalu mewarnai setiap era pemerintahan ada 2 yaitu gedung sekolah dengan segala perlengkapannya dan kesejahteraan guru. Presiden Soeharto cukup fenomenal dengan membangun banyak gedung sekolah yang dikenal dengan SD Inpres. Dan itu cukup melayani kebutuhan gedung sekolah dasar diberbagai daerah di Indonesia, ketika memang pendidikan dasar 6 tahun. Menteri pendidikan yang punya kebijakan strategis misalnya Daoed Joesef dan Fuad Hasan. Meskipun demikian masalah pendidikan terus bergulir secara kualitas dan kuantitas dan bisa dikatakan tidak pernah selesai secara tuntas. 

Penulis yang mengalami pendidikan di era orde baru merasa nyaman dengan kurikulum dan evaluasi yang berlaku saat itu dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Hasil belajar yang berupa naik atau tidak naik, dan lulus dan tidak lulus adalah hal biasa. Saat itu ketika ada yang tidak naik lalu mengulang, bahkan tidak lulus pun juga mengulang, bukan menjadi suatu hal yang memalukan. Artinya seluruh siswa sudah tahu bahwa ketika tidak serius belajar maka ada konsekuensi tidak naik atau tidak lulus. Siswa dilatih untuk kompetitif dalam belajar dan tahu risiko yang akan diterima ketika mengabaikan proses pembelajaran. Daya juang dan kreativitas dalam situasi sederhana tumbuh dan berkembang dengan tantangan masing-masing. Begitu pula dengan orangtua ketika anaknya tidak naik kelas atau tidak lulus, bisa menerima keputusan itu. 

Waktu terus berlalu dengan pembangunan yang semakin gencar namun belum menyentuh secara menyeluruh di bidang pendidikan. Berdasarkan data BPS dalam laman CNBC tercatat ada 60,60% ruang kelas SD dalam kondisi rusak ringan atau sedang pada tahun ajaran 2021/2022. Angka tersebut lebih tinggi 3,47% poin dibandingkan setahun sebelumnya yang sebesar 57,13%. Seandainya peningkatan kerusakan stagnan di angka 3,47% maka kita bisa hitung sendiri berapa persentase kerusakan sampai tahun ajaran 2024/2025. Itu baru tingkat SD, belum SMP dan SMA se Indonesia.

Jumlah guru di Indonesia berdasarkan data BPS ada 3,39 juta orang dengan rata-rata gaji bulanan Rp. 3.750.000,00 hingga Rp.5.500.000,00. Sangat miris sekali dengan beban tanggung jawab menyiapkan masa depan peserta didik. Belum lagi berhadapan dengan orangtua yang kurang paham  pendidikan sehingga menyalahkan guru bahkan mengkriminalisasikan seperti  yang dialami guru honorer Supriyani di Konawe Selatan yang menjadi perhatian publik.

Program meningkatkan kesejahteraan guru melalui sertifikasi pun terkesan setengah hati. Guru harus menyiapkan syarat ini dan itu, harus melakukan ini dan itu yang seolah-olah tidak dipercaya kalau yang bersangkutan adalah guru. Penulis juga guru yang  mengajar baru 25 tahun belum pernah mendapat kesempatan hanya karena regulasi berganti-ganti. Angkatan pertama sertifikasi, diajukan kepala sekolah, kebetulan tidak diajukan. Kemudian berdasarkan jumlah jam mengajar, tidak mencapai 24 jam per minggu, dan seterusnya dan seterusnya. Dan posisi penulis di Jakarta yang hanya beberapa kilometer dari kantor Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah. Maka bagaimana dengan guru yang posisinya di daerah terdepan, terpencil, dan tertinggal.

 Memang setuju bahwa sertifikasi harus tepat sasaran tapi persyaratan untuk memperolehnya juga sangat luar biasa. Belum lagi masalah klasik pencairan tunjangan sertifikasi yang hampir selalu terlambat. Padahal ketika nama guru sudah masuk Dapodik (Data Pokok Pendidikan) yang sudah sinkron atau sesuai dengan data NIK dan KK, serta ditandatangani kepala sekolah, apalagi yang masih dipertanyakan. Jika data di Dapodik tidak akurat atau ada pemalsuan, tinggal hubungi kepala sekolah yang bersangkutan  serta operator sekolah yang menginput data. Sebenarnya sangat sederhana untuk memastikan kebenaran data yang ada di Dapodik, hanya tinggal mau atau tidak.

Gedung sekolah serta perlengkapannya dan kesejahteraan guru itulah masalah klasik yang terus mendera dunia pendidikan di Indonesia. Libatkan KPK dalam pembangunan dan perbaikan gedung sekolah serta pencairan tunjangan sertifikasi. Tidak perlu teori dan kajian muluk-muluk apalagi hanya mengejar peringkat ini dan peringkat itu di dunia pendidikan atau yang terkait. Kalau gedung sekolah kurang memadai  serta kesejahteraan guru belum terpenuhi, maka apapun kurikulumnya tetap kembali pada selera lama yaitu proses belajar mengajar secara konvensional dengan metode ceramah dan seterusnya. Seandainya menteri pendidikan berani mengambil langkah tidak populer yaitu menyelesaikan 2 masalah klasik di bidang pendidikan tersebut namun tetap mengacu pada visi dan misi presiden, maka geliat dunia pendidikan pasti merambat makin membaik. Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun