Mohon tunggu...
Seno Kristianto
Seno Kristianto Mohon Tunggu... Guru - Guru/SMP Van Lith Jakarta

Pendidik yg jg menikmati sosial, budaya, sejarah, dan filsafat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

PPDB, Agenda Tahunan yang Sering Ada Keluhan

3 Juli 2024   22:20 Diperbarui: 3 Juli 2024   22:31 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) adalah kegiatan tahunan khususnya menjelang tahun ajaran baru. PPDB merupakan sarana transisi dari suatu satuan pendidikan ke jenjang satuan pendidikan yang lebih tinggi, dalam hal ini dari pendidikan dasar ke pendidikan menengah atau kejuruan. Setiap anak bahkan para pemangku kebijakan saat ini pasti pernah mengalami bagaimana rasanya mendaftar ke suatu satuan pendidikan setingkat lebih tinggi apapun namanya, misalnya Penerimaan Murid Baru, Penerimaan Siswa Baru, dan sekarang dengan istilah PPDB. Dari yang masih dengan cara manual sampai yang digitalisasi seperti saat ini atau daring. Apapun nama dan sarana yang digunakan pada intinya adalah menuju ke jenjang pendidikan berikutnya.

PPDB terdiri dari beberapa jalur yaitu zonasi, prestasi, dan afirmasi. Ada baiknya dilakukan sosialisasi terus menerus agar para orangtua paham benar apa dan bagaimana tiga jalur tersebut. Sosialisasi jangan hanya secara daring tetapi juga secara otentik melalui sekolah sebagai pihak yang berkepentingan dan bisa langsung ke orangtua. Disamping sosialisasi cara pendaftaran, ada baiknya juga disosialisasikan  kendala atau masalah yang terjadi pada PPDB sebelumnya. Kendala atau masalah tidak hanya dari sistem, tetapi bisa juga karena ketidaktahuan orangtua. Sistem apapun selama masih masih buatan manusia pasti ada kekurangan, jadi jangan terus berlindung dengan alasan sistem ketika ada masalah. 

Ada orangtua yang anaknya tidak diterima melalui jalur zonasi, lalu dia mengukur secara manual dengan meteran jarak dari rumah ke sekolah tersebut. Pengukuran tersebut menunjukkan ketidaktahuan tentang istilah zonasi. Orangtua melakukan hal itu sebenarnya termasuk sindiran keras tentang istilah zonasi. Dan mengukur manual bukan hal yang salah karena tidak merugikan siapapun. Hal ini cukup menjadi bukti bahwa perlu ada persepsi yang sama tentang arti zonasi, apakah jarak atau akses. Kalau jarak maka perlu dijelaskan bahwa itu jarak secara lurus dari rumah ke sekolah, atau jarak mengikuti jalan yang dilalui menuju ke sekolah. 

Perlu dijelaskan juga titik dari sekolah itu bagian mana, apakah gerbang sekolah, tiang bendera atau yang lain. Ada juga yang mengatakan bahwa zonasi itu tentang akses. Kalau akses atau cara untuk mencapai sekolah, apakah jalan kaki, sepeda motor, angkutan umum (bus kota, dll), KRL, MRT, LRT. Akan lebih baik juga kalau menggunakan istilah baku yang mudah dipahami dan menghindari multitafsir misalnya zonasi diganti jarak. Bisa juga berdasarkan wilayah administrasi beberapa kecamatan yang bisa mendaftar ke sekolah tertentu. Gunakan istilah yang mudah dipahami dan bisa satu persepsi atau pengertian. 

Pada jalur prestasi juga ada contoh nyata yang dialami calon peserta didik dengan prestasi di cabang olahraga gymnastic atau senam. Awalnya dijelaskan bahwa sertifikat yang diajukan tidak mencukupi skor untuk diterima di sebuah SMP. Setelah didesak lagi ternyata bahwa cabang olahraga senam tidak menjadi prioritas di SMP tersebut. Sekolah lebih memprioritaskan cabang olahraga umum seperti sepakbola, basket. 

Padahal calon siswa tersebut akan mewakili kotanya di tingkat provinsi untuk cabang olahraga senam. Kriteria skor sertifikat atau prioritas cabang olahraga ada baiknya disosialisasikan jauh-jauh hari agar dipahami oleh orangtua. Padahal apapun cabang olahraganya selama menginduk di KONI tetap punya hak untuk bisa unjuk prestasi di sekolah manapun. Dalam hal ini ada semacam diskriminasi cabang olahraga oleh sekolah tersebut. Padahal di tingkat provinsi, nasional, bahkan internasional, pemerintah memberikan apresiasi bagi siapapun yang berprestasi. 

Belum lama di lingkungan TNI AD, ada calon siswa Tamtama karena menguasai empat bahasa asing maka oleh KSAD Jenderal TNI Dudung Abdurachman langsung diterima ke Bintara. Artinya casis Tamtama itu punya prestasi menguasai bahasa asing sehingga KSAD memberi kesempatan langsung untuk pendidikan ke Bintara. Ada juga calon siswa Bintara Polri ketika berangkat pagi untuk mengikuti seleksi dibegal tetapi bisa melawan meskipun jari tangan kanan putus. Berkat keberaniannya maka para begal bisa diringkus polisi. Oleh karena itu Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo langsung merekrut calon siswa tersebut melalui jalur khusus disabilitas.

Memang berbeda antara pendidikan di tingkat dasar dengan pendidikan Bintara di AD maupun Kepolisian. KSAD dan Kapolri menggunakan diskresi dalam hal-hal khusus dan itu bukan sebuah pelanggaran dalam seleksi ke Bintara AD dan Bintara Polisi. Tetapi paling tidak pihak sekolah bisa mempertimbangkan bahwa ketika ada siswa berprestasi di cabang olahraga tertentu meskipun bukan prioritas, namun pada saat siswa itu berprestasi tentu membawa nama baik sekolah. 

Sekolah Bintara AD dan Polisi yang ketat seleksinya saja bisa memberi prioritas pada calon siswa yang memang punya prestasi khusus meskipun prestasi itu belum ada dalam daftar persyaratan seleksi. Ada juga Haidar Anam, kuli bangunan yang merenovasi beberapa bagian dilingkungan Mabesad diperjuangkan oleh KSAD Jenderal TNI Andika Perkasa menjadi prajurit Tamtama. Jenderal TNI Andika Perkasa tidak sembarangan memberi kesempatan, artinya tentu punya pertimbangan dan penilaian khusus kepada seorang kuli bangunan tersebut.

Sosialisasi tentang prinsip, konsep, kriteria, arti  zonasi, prestasi, dan afirmasi menjadi sangat penting agar dipahami secara jelas oleh para orangtua yang akan mendaftarkan anaknya ke SMP, SMA/K. Jika sosialisasi terus menerus dengan perubahan-peruabahan yang ada maka akan meminimalkan kasus-kasus yang muncul dalam PPDB. Apabila masalah dalam PPDB terus muncul dari tahun ke tahun dan persoalannya sama maka bukan tidak mungkin kasus PPDB akan menjadi dosa keempat dari pendidikan di Indonesia setelah perundungan, kekerasan seksual, dan intoleransi. Marilah duduk bersama membahas PPDB mau seperti apa dan bagaimana agar proses input pendidikan di tingkat dasar dan menengah semakin baik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun