Setiap 25 November diperingati sebagai hari guru nasional, dan berkumandang lagu hymne guru begitu dari tahun ke tahun. Tanpa tanda jasa, itulah kalimat akhir dari lagu tersebut. Tanpa tanda jasa bisa memiliki beberapa pengertian, misalnya memang tidak perlu diberi tanda jasa, atau memang tidak ada tanda jasa untuk guru.Â
Dan itulah yang terjadi sejak orde baru bahkan ada lagu Oemar Bakri karya Iwan Fals yang menggambarkan kondisi guru di zamannya. Guru ditampilkan puluhan tahun mengabdi, menciptakan berbagai profesi di banyak posisi, tapi gaji tetap dipotong sana sini. Potongan gaji itu menunjukkan adanya intervensi bagi profesi guru. Sehingga cukup masuk akal sejak saat itu, guru bukan menjadi profesi yang diminati karena memang sistem sendiri yang menciptakan situasi.
Profesi yang bukan diminati ditambah berganti kurikulum yang tujuannya memperbaiki masa depan pendidikan bangsa tapi ujungnya adalah beban administrasi guru yang juga meninggi. Administrasi guru terkadang melebihi tugas utama yaitu mengajar dan mendidik. Setiap orang bisa mengajar karena hanya cukup berbekal ilmu pengetahuan untuk diajarkan.Â
Sedangkan mendidik ini ilmu yang berbeda yaitu pedagogi yang hanya ada di lembaga pendidikan yang menyiapkan pendidik. Pedagogi berbeda dengan ilmu lain karena pendekatan ilmu ini adalah manusia dan yang dihadapi juga manusia yang masing-masing punya karakter. Ini yang disepelekan sehingga di tingkat pemangku kepentingan yang tidak tahu pedagogi tapi mengatur guru sehingga gagal paham dalam membuat kebijakan.
Tanda-tanda intervensi jelas kelihatan sejak dihapusnya Sekolah Pendidikan Guru (SPG) dengan dalih meningkatkan kualitas pendidik di tingkat Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar, diganti dengan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD). Begitu pula dengan Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama (PGSLP). Termasuk berubahnya Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) menjadi universitas dengan tujuan yang sama yaitu meningkatkan kualitas lulusan khususnya guru. Tujuan meningkatkan kualitas guru sebagai bagian dari hulu pendidikan memang baik. Tapi apakah sejalan dengan di bagian hilir yaitu pada praktik di sekolah, inilah yang masih perlu pembenahan.
Sebagai contoh dibagian hulu, misalnya untuk Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), yang mana dibagi ada jurusan pendidikan sejarah, ekonomi, dan geografi. Ketika tiba dibagian hilir yaitu sekolah, dengan dalih kurikulum maka seorang guru dari jurusan pendidikan sejarah harus bisa mengajar ekonomi dan geografi dalam konteks IPS Terpadu.Â
Padahal pemangku kebijakan tahu persis bahwa antara sejarah, ekonomi, dan geografi itu punya ciri khas dan filosofi yang berbeda dan masing-masing sebagai disiplin ilmu mandiri. Tapi karena intervensi tadi, maka dipaksakan diajarkan oleh satu guru, apakah latar belakangnya pendidikan sejarah, ekonomi, dan geografi. Akhirnya yang menjadi korban intervensi adalah guru dan peserta didik.Â
Apalagi dengan program sertifikasi guru lebih jelas lagi intervensinya. Mereka yang lulus dari FKIP mendapat ijazah sarjana dan ijazah akta IV (syarat untuk mengajar). Namun kenyataannya, meskipun sudah mendapat akta IV tetap wajib mengikuti pelatihan untuk bisa mendapatkan sertifikasi. Lembaga pembuat kebijakan hanya 1 tapi mengapa bisa muncul standar ganda untuk profesi guru, yaitu sudah akta IV namun tetap ikut pelatihan supaya memperoleh sertifikasi. Belum lagi ada kewajiban bahwa beban mengajar guru harus 24 jam pelajaran dan paralel dengan bidang ilmunya. Di tingkat SMP dan SMA yang total rombongan belajar hanya 3 atau 6, maka akan sulit bagi gurunya untuk bisa mendapat sertifikasi karena belum tentu bisa memenuhi syarat 24 jam pelajaran.Â
Inilah kondisinya  yang namanya pendidikan kemudian diintervensi oleh yang tidak tahu praktik pendidikan di tingkat sekolah. Kalau seperti ini terus maka  pendidikan khususnya kondisi dan kualitas guru akan tetap jalan ditempat jika tidak mau dikatakan mundur. Tidak perlu melihat guru di pelosok negeri, di daerah yang dekat dengan pusat politik saja mungkin masih ada yang kondisinya seperti lagu Oemar Bakri. Ketidaksesuaian antara hulu dan hilir pendidikan guru, kegagalan paham tentang pedagogi menjadi 2 hal sederhana yang harus diperbaiki demi pendidikan di negeri ini. Selamat Hari Guru 2022, salam pedagogi.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H