dingin masih menyelimuti, seolah-olah tidak mau beranjak menjauh dariku, melekat ditubuh bagai kembar siam. pukul 4.00 ku dibangunkan alarm di hp ku yang ku stel secara otomatis. berat rasanya meningggalkan kasurku yang tak lagi empuk, yang memelukku dengan erat bagai seorang pelacur tua yang selalu minta ditiduri. sekuat tenaga kulepaskan pelukannya dari benaku, aku pun bangkit bergegas menuju dapur. di luar suara ayam jantan bersauhan bagai paduan suara suporter sepak bola yang saling sahut-sahutan dan diiringi gemericik air dari ledeng yang beberapa tahun lalu telah masuk kerupah kami yang merupakan hasil kerja sama WVI Singkawang dan PNPM. hebat, kini masyarakat dikampung kami tak lagi memindahkan air dari sungai kerumah, tengkiu WVI dan PNPM walau pun sempat mendatangkan masalah.
sedikit terlena ku, ketika mendengar bunyi harmonisasi alam tersebut, lalu aku menuju tungku perapian yang diatasnya terduduk panci yang tak lagi kokoh, disekelilingnya mulai seperti wajah lansia-lansia yang setiap minggu ke 2 mendapat pelayanan komuni lansia dari paroki kami. ku sentuh tutupnya. dingin. menandakan entah berapa jam yang lalu telah digunakan bapaku untuk menjering air untuk menyeduh kopi sebagai pengganjal lambungnya sebelum berangkat meninggalkan rumah menuju belantara bersama mantan pacarnya yang kini menjadi pacar selamanya dalam hidupnya.
dengan bersenjatakan pisau yang berbentuk "L" terbalik dan senter dikepala, mereka berdua pergi menunju belantara untuk menemui pohon-pohon yang memberi kehidupan ribuan orang dikalimantan ini. pohon-pohon yang tak pernah mengeluh walau setiap hari tubuhnya disayat-sayat layaknya korban G-30 SPKI yang kami tonton waktu SD.
entah berapa lama profesi ini ditekuni mereka, yang jelas sejak mereka belum bertemu mereka telah profesional menggeluti prfesi mereka ini. profesi yang tak sebanding dengan hasil. apalagi belakangan ini, kami menjerit memohon supaya harga karet sebanding dengan keringat yang dicucurkan tapi harus menjerit pada siapa..? tak ada yang perduli dan kami pun tak juga perduli yang penting esok matahari pasti bersinar, itulah semangat yang ditanamkan bapaku.
kini 62 tahun sudah usianya, lebih dari setengah abad yang seharus nya ia dan mantan pacarnya sudah pensiun dari profesinya sebagai pengukir pada pohon-pohon karet. usia yang seharusnya mereka nikmati dengan bersantai didepan kolam ikan, dengan bermain bersama anak-anak ayam, dengan sesekali bersenda gurau dengan cucunya dan sesekali mencangkul halaman disekitar rumah untuk menanam beberapa pohon ubi. tapi keadaan tak seindah itu, mereka harus terus membanting tulang mencari receh dari darah-darah putih pohon-pohon karet yang dibekukan memanjang. mereka masih harus berangkat dimana ayam-ayam jantan belum terjaga. berat memang. tapi semua ini masih dikoninya.
banyak hal yang kutimba dari orang yang menjadikan aku ada diplanet nomor 3 dari matahari ini. semangatnya yang tak pernah surut walau sebenarnya tak sejalan lagi dengan fisiknya yang mulai renta. semangat untuk kesejahteraaan keluarganya sesuai dengan janji pernikahannya dulu. banyak kisah pahit yang dilaluinya mulai dari mempunyai ibu tiri yang sering memberi nya nasi basi sampai dikatai "orang tak bersekolah", tak layak. Â kata-kata ini yang memicunya bahwa pendidikan itu sangat penting, penting supaya tak dilecehkan orang lain, bahkan orang tersebut sama-sama orang katolik. terbukti kami 4 bersaudara (fantastic fournya bapak mamak) mempunyai ijasah SMA semua peristiwa yang jarang terjadi dikampung kami, bahkan ketika pemerintah hanya mampu menggalakan program wajib belajar 9 tahun, banyaku lebih dulu menggalakan program tersebut dan lebih maju dari pemerintah kala itu.
aku pun menghidupkan api dengan bantuan kerak jinton sebagai perangsang agar kayu-kayu mau dapat menyala. kujering air dengan panci lansia kami. menikmati kombinasi 2 sendok gula dan 1 sendok kopi hitam  yang dilarutkan dengan air dari panci lansia kami. ku teguk kopi hasil karyaku, nikmat sekali seperti susu perawan dalam film-film bokep yag pernah kutonton. diluar terdengar suara mamak yang menyapa dika, cucunya yang bersepeda mengitari rumah, lama menyusul bapak yang lantas menaburkar kan jagung-jagung pada ayam-ayam kami persis sijampang yang menghaburkan uang untuk rakyat jelata.
mereka baru menyelesaikan babak pertama dari profesinya, menunggu tempurung-tempurung penuh dengan darah putih walau kadang tak penuh-penuh. babak kedua adalam mengumpulkan darah-darah tersebut. tak terpancar keluh dari raut wajah bahkan dari mulut mereka, bahkan mereka sempatkan bercanda menghadirkan kemesaraan yang kudambakan kelak ketika aku beristri.
bapak-mamak kalian hebat....kalianlah pahlawanku, maafkan aku karna sampai saat ini saat diusiaku setengah dari usia kalian aku belum bisa membahagiakan kalian, aku hanya bisa selalu berdoa kepada Tuhan kita untuk kebahagian kalian.
senyum dan doa untukmu Bapak dan Mamak. selamat hari bapak. #SW
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H