Mohon tunggu...
Ratna Juwita
Ratna Juwita Mohon Tunggu... -

Pecinta Senja, Hujan, Laut, Bunga Rumput dan Embun.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta Perempuan Biasa

3 Maret 2013   17:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:23 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13623330131996720936

Rinai membuka pintu kamar. Setelah bermenit-menit mengamati hujan di beranda, dia memutuskan mendekap malam ini dalam keheningan.

Hujan menderas. Gemuruh airnya serupa orkestra di atap langit. Inilah waktunya. Waktu ternyaman Rinai untuk berjawab-jawab dengan jiwa. Menengok ruang terdalam hatinya.

Pada setiap hujan turun, Rinai menitipkan rindu. Juga cinta. Kepada lelaki yang telah menggenggam hatinya.

Diambilnya sekotak coklat dan selembar kartu berwarna merah muda dari laci meja. Coklat itu masih utuh. Bahkan plastik perekatnya pun belum dibuka Bukannya Rinai tidak suka coklat, Namun akan dinikmatinya itu nanti. Ketika rindu tak lagi mau mengerti. Ketika sesak hanya mampu terurai lewat kenangan. Tentang sebuah ciuman dan sekotak coklat.

Rinai tersenyum. Dibukanya kembali kartu itu. Dibaca untuk kesekian kali.

Aku mengikat keindahan dan bahagiaku

Pada rasa coklat ini, Tercintaku, aku mencintaimu...

Terimakasih untuk cintamu

Kasih sayangmu,

Dan semangat yang tersaji

Pada setiap helaan nafasku…

Coklat dan larik puisi adalah kisah tentang cinta terindah dalam hidupnya. Tentang seorang lelaki penyayang yang datang kepadanya pada suatu hari bersama senja dan hujan. Lelaki yang hingga detik ini masih memenuhi lembar ingatan. Lelaki yang tak pernah sekalipun menerbitkan duka. Lelaki yang menghadirkan surga.

Engkau adalah cinta. Dimatamu aku menemu bunga-bunga tumbuh rimbun. Tak menyisakan celah bagi gulma. Tak memberi tempat untuk segala sakit.

*****

Satu bulan sebelumnya.

Rinai duduk dengan gelisah. Sekira satu jam yang lalu, Awan menelpon. Dia akan datang mengunjunginya. Antara bahagia dan seolah tidak percaya, Sebab semalam ketika berbincang di telpon, Awan tidak membicarakan tentang rencana kedatangannya.

Bukan sekali ini Awan mengejutkan Rinai. Pernah lelaki itu membawanya ke laut tanpa rencana. Atau ketika pada suatu senja yang basah, dia datang tiba-tiba dengan tiket bioskop.di tangan. Sebenarnya bukan hal luar biasa jika mereka tinggal berdekatan. Masalahnya mereka tinggal di kota yang berbeda. Untuk bisa menemui Rinai, Awan memerlukan waktu sekira dua sampai tiga jam perjalanan. Maka setiap pertemuan adalah hal istimewa bagi mereka.

Kegelisahan Rinai menguap ketika lelaki tercintanya muncul di halaman dengan senyum terkembang. Diantara gerimis, Rinai menyambut kekasihnya dengan setangkup rindu.

“ Kok semalam nggak bilang sih Mas, kalau mau kesini?”

Awan tersenyum lebar. Dia senang melihat Rinai terheran-heran dengan kedatangannya. “Sengaja. Kalau aku kasih tahu, namanya bukan kejutan”

“Hmm,..gitu ya? atau karena aku suka kebanyakan alasan, sibuk dengan kerjaan?” Tanya Rinai meminta penjelasan.

“Nggak sayang. Aku suka aja ngasih kamu kejutan”. Lalu Awan mengambil sesuatu dari dalam tas. Diulurkannya kepada Rinai. Bingkisan cantik dengan pita merah.

“Apa nih Mas?” Rinai menatap bingkisan dengan mata berbinar.

“Di buka aja. Aku sengaja kesini untuk ngasih itu buat kamu”

Rinai tertawa kecil setelah membuka bingkisan dan mendapati isinya. Sekotak coklat.

“Waah, coklat. Kapan Mas, belinya? Semalam atau barusan tadi?” Tanya Rinai masih dengan tawa. Kotak coklat itu dibolak-baliknya seolah barang langka.

“Semalam. Tapi kartunya aku tulis barusan”, jawab Awan sambil mengusap jemari Rinai. Laki-laki itu senang melihat pijar bintang di matanya.

Rinai menarik amplop merah muda dari dalam bingkisan. Selembar kartu dibacanya dalam diam. Masih dengan senyum mengembang. Masih dengan dada berjejal kebahagiaan.

Rasanya ingin sekali mencium Mas Awan-nya, tapi Rinai malu.

Pasti akan terlihat seperti anak-anak yang baru mendapat mainan.

Rinai begitu terpesona dengan bingkisan di genggamannya. Saking takjubnya, dia tak mampu bicara apa-apa. Disimpannya bahagia itu pada pada senyum dan cahaya matanya.

Semua ini terlalu indah buat Rinai. Terlalu membahagiakan. Lalu diantara gerimis senja itu, mereka berbincang, Saling bercerita, mendengarkan, memahami serta membaca perasaan.

Dan waktu tak mau menunggu. Setelah sekira dua jam, ketika senja mulai beranjak dan malam bersiap menunggu giliran, Awan harus pulang.

Ada rindu yang belum terentaskan.

Ada ketidak-relaan yang disembunyikan dalam mata Rinai.

“Mau pulang sekarang ya Mas?” Tanya Rinai pelan. Pertanyaan yang sebenarnya tidak membutuhkan jawaban.

“Iya, udah sore. Aku pulang ya. Biar nggak terlalu larut nanti nyampe rumah”.

Setengah tergagap, Rinai meraih jemari Awan. Menggenggamnya. Kemudian mendekap erat di dadanya.

Aku masih ingin menyelami riak matamu. Merasakan hangat keberadaanmu. Menyimak suara teduhmu. Aroma tubuhmu.

Dengan tatapan enggan kehilangan, Rinai mencari-cari kepastian. Bahwa lelakinya tak akan pernah beranjak mengawan. Dalam sekian detik, kemudian bibir mereka saling menemukan. Ciuman yang bukan hanya dikenangdalam ingatan, tapi pada jiwa terdalam.

Ciuman yang menghujani detik waktu dengan rindu.

Serupa kupu-kupu menemukan madu.

Dan pada senja itu, Rinai melepas Awan dengan hati membiru.

Sejenak setelah kepulangan Awan, senja menderas hujan. Rinai merebahkan diri di tempat tidur. Memeluk segala ingatan beberapa menit berselang. Mendekap kotak coklat hingga tertidur pulas.

*******

Hidup telah mengajari Rinai banyak hal. Bahwa kebahagiaan harus diraih dengan susah payah, bahkan dengan nyeri tak terperi. Kadangkala, kerja keras serta nyeri itu pun tak selalu berbuah manis. Namun sebagai manusia, yang bisa dilakukan adalah menerima. Seperti Rinai biasa memaknai kesulitan-kesulitan hidupnya, juga pedih cintanya, sebagai bagian hidup yang selayaknya diterima. Rinai tidak berani meminta lebih dari itu.

Rinai pernah kehilangan. Ketika laki-laki yang dicintainya selama belasan tahun, meninggalkannya. Pergi menorehkan luka. Kemudian Rinai jatuh dan hancur. Berdarah. Namun Rinai tak hendak bertanya, mengapa hidup memperlakukannya sedemikian rupa. Yang dia pahami adalah Tuhan Maha Adil. Begitulah kehidupan. Kita tak berhak bertanya atas keputusan Tuhan, karena takdir adalah milik-Nya.

Sejak itu, cinta bagi Rinai tak ubahnya sebuah dongeng. Sepotong cerita penuh bunga, yang selalu dibacanya malam-malam. Sampai terlelap sambil memeluk harapan.

Tidak, Bukan berarti dia tidak lagi percaya cinta. Perempuan penyuka hujan itu tetap meyakini cinta sebagai obat segala luka. Namun sejauh yang dia pahami, itu bukan untuknya. Bukan miliknya. Entah sampai kapan.

********

Kehadiran Awan telah merubah hari-hari Rinai. Lelaki itu membawanya pada keindahan musim bunga. Hari-hari penuh senyum dan tawa. Dan cinta bukan lagi sekedar dongeng untuknya. Awan mencintai Rinai apa adanya. Selalu melakukan sesuatu dengan cara yang menyentuh dan penuh kejutan. Dia membuat Rinai merasa cantik dan dihargai. Dari lelaki itu pula selalu lahir hal-hal mendamaikan.

Bukan hanya itu. Awan adalah lelaki romantis dan penuh kasih. Tak terbilang bait puisi yang dia larikkan untuk Rinai. Kesabarannya memahami kemurungan Rinai juga tak terkatakan.

Namun Rinai adalah perempuan biasa. Yang selalu berusaha memaknai segala sesuatu secara sederhana. Baginya, kebahagiaan yang diberikan Tuhan atas kehadiran Awan, terasa bertubi-tubi. Bahagia yang menurutnya diluar jatah. Bukan miliknya. Terlalu indah dan melenakan. Dan Rinai ingin meletakkan cinta itu kembali pada tempatnya.

Sambil bersandar di ujung tempat tidur, Rinai menekan sebuah nomor pada layar ponsel. Sekotak coklat warna merah dipangkuannya. Dia harus bicara sekarang, sebelum kerinduan kembali melemahkannya.

Beberapa detik kemudian, suara Awan terdengar diujung ponsel. “Halo, Assalamu’alaikum” “Wa’alaikumsalam” jawab Rinai menyimpan resah. “Lagi apa Sayang? Belum ngantuk jam segini?”

Rinai memejamkan mata. Ya Tuhan, suara teduh ini. Yang selalu kurindukan.

Setelah menarik napas, Rinai menjawab perlahan. “Belum Mas. Hhmm…pingin bicara sesuatu. Mas Awan lagi sibuk nggak?”

“Ada kerjaan sih sedikit, tapi bisa dikerjakan besok. Ada apa sayang? Aku mendengarkan”. Seperti biasa, Awan selalu berusaha menjadi pendengar yang baik untuk Rinai. Mulai masalah pekerjaan, hal-hal ringan, juga tentang perasaan-perasaan terdalam.

Sesaat Rinai kebingungan. Dia tidak tahu harus mulai dari mana. Dihembuskannya napas. Mengusir beban.

“Hmm…tentang kita, Mas. Tapi maaf kalau nanti ucapanku menyakiti atau nggak berkenan. Dan kuminta sebelum selesai, jangan potong bicaraku ya?”, Rinai berusaha keras mengatur nada bicara agar tetap tenang. “Iya sayang, silahkan lanjutkan. Aku simak baik-baik”. Begitulah Awan. Dengan kesabaran dan kedewasaan yang menenangkan.

Setelah menghela napas, Rinai meneruskan bicara. “Mencintaimu adalah seindah-indahnya cinta dalam hidupku. Mas Awan tahu itu. Tapi ada hal yang nggak bisa terus kita abaikan. Tentang posisi kita. Status Mas Awan dan aku”.

Sampai disini Rinai berhenti sejenak. Mengumpulkan keberanian.”Mungkin sekarang saatnya kita berhenti, Mas. Kita harus kembali pada realita. Hubungan kita nggak bisa diteruskan. Sebesar apapun cintaku, sedalam apapun cinta kita”.

Awan adalah milik perempuan lain. Rinai tahu itu dari awal. Namun baik dia, maupun Awan, tak pernah bisa menemukan alasan untuk saling menjauh. Cintatelah mengikat mereka sedemikian rupa. Tak menyisakan ruang agar cinta luruh dalam diam. Namun justru menyeret mereka pada harapan-harapan yang makin hari kian melangit. Memabukkan.

Sedikit terbata, Rinai menyelesaikan kalimatnya. “Bersama Mas Awan adalah keindahan. Semua tentang kita adalah keindahan. Aku nggak menemukan satupun hal yang menyakitkan. Tapi ternyata, keindahan itu tak mampu menepikan rasa bersalahku. Aku nggak bisa terus berperan menjadi perempuan kedua, Mas. Ini bukan hanya tentang logika, tapi juga rasa. Kita sudah sering membahasnya kan? Maafkan Mas, aku rasa sudah waktunya kita berhenti”.

Beberapa detik suasana hening. Rinai telah menuntaskan apa yang berhari-hari ini mengusik pikirannya.

Sejurus kemudian suara Awan kembali terdengar, “Aku ngerti. Diantara keindahan cinta kita, selama ini kamu menyimpan risau. Meski kamu nggak bicara, aku merasakannya. Tapi bukankah sudah pernah kita bicarakan, bahwa kita sedang berproses, sayang. Jalan kita memang nggak mudah. Tapi kita akan melewatinya. Kita akan sampai di tujuan sambil tetap bergandengan tangan”. “Tapi Mas. Sepertinya aku nggak bisa. Bukan aku menyerah, atau nggak sanggup bertahan. Bukan itu. Ini adalah tentang kesadaran, yang mungkin datangnya sudah terlambat. Tapi lebih baik, daripada tidak pernah menyadari sama sekali. Kita sudahi ya Mas. Maafkan, aku harus mulai menghilang dari hari-hari Mas Awan. Hanya ini yang bisa kulakukan. Berharap kesalahan apapun yang pernah kita lakukan dimaafkan dan bisa diperbaiki”, kalimat Rinai meluncur tertahan. Mencari kekuatan. “Tunggu, sebentar Rinai. Aku ngerti kamu sedang bimbang. Ini nggak mudah buatmu. Oke, aku akan pahami. Kalau kamu butuh waktu untuk sendiri, aku akan menjauh sementara ini. Tapi jangan pergi. Jangan menghilang”, Awan berbicara dengan keresahan yang tak mampu disembunyikan.

Namun Rinai sudah memutuskan. Dia harus mengakhiri semuanya. Dengan keikhlasan. Dengan kerelaan. Tak akan pernah mudah. Tapi harus dilakukan segera. Sebelum semuanya terluka.

Rinai mengerjap. Digigitnya bibir menahan bulir bening dari kedua matanya. Saatnya melepaskan yang bukan haknya. “Mas Awan, aku mencintaimu. Terimakasih untuksegala keindahan. Maafkan aku untuk semua kesalahan”. Dia tidak mampu berlama-lama bicara dengan Awan. Rinai segera menutup telpon. Kemudian larut dalam sedu-sedan.

Tak dihiraukannya dering ponsel berulang. Juga rentetan pesan pendek yang masuk kemudian. Airmatanya membanjiri kotak coklat di pangkuan. Ternyata perih. Ternyata nyeri. Aku mencintaimu. Kita bertukar tempat, bertukar umpama, tetap saja adalah cinta.

Selamanya, aku akan berjuang menentramkan senyum dan airmata. Dan melihatmu bahagia. Senantiasa.

Aku Mencintaimu. Maka biar kutitipkan senjaku pada bunga padma. Lewat baris-baris sajak, sebagai doa-doa sederhana.

*******

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun