Mohon tunggu...
Ratna Juwita
Ratna Juwita Mohon Tunggu... -

Pecinta Senja, Hujan, Laut, Bunga Rumput dan Embun.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Keikhlasan ; Sebuah Catatan.

17 Maret 2013   08:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:37 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ponselku bergetar. Ada pesan masuk dari Mbak Rita. Perempuan tangguh yang ku kenal sebulan lalu. Dia mengabarkan sudah memasuki wilayah Labuhan Maringgai, sebuah kecamatan dimana aku bertugas sebagai seorang fasilitator di Program Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Pedesaan (PNPM-MPd). Bergegas ku kemasi laptop, buku, dan semua pernak-pernik yang biasa memenuhi tas ranselku. Aku harus menjemput Mbak Rita, dan membawanya ke tempat dimana kami sudah berjanji akan bertemu.

Hujan menderas senja ini. Bersama enam orang perempuan, aku berkumpul di rumah Mbak Nur, salah seorang kaur desa Muara Gading Mas. Rumah ini hanya berjarak sekira 200 meter dari bibir pantai. Di ruang tengah rumah Mbak Nur, ada Mbak Rita, yang menyopiri sendiri mobilnya dari Bogor untuk sampai ke tempat ini. Lalu Ibu Siti Rukayah, perempuan sepuh berusia tujuh puluhan yang bersemangat mendampingi putrinya ke Lampung. Bersama mereka ada Bu Nela, Bu Eti, Bu Tuti dan Bu Widya. “Perempuan-perempuan tangguh” begitu aku menyebutnya.

Kami membahas sebuah kegiatan yang akan dilakukan bulan depan. Mbak Rita dan yayasan sosial yang di kelolanya merencanakan pengobatan gratis kepada sekitar 350 orang kaum duafa. Selain itu juga akan diberikan santunan kepada kaum lansia dan anak yatim piatu. Kegiatan akan di fokuskan di desa Muara Gading Mas. Salah satu desa nelayan di kecamatan Labuhan Maringgai dengan tingkat kemiskinan yang cukup memprihatinkan.

Diantara pembahasan tentang teknis pelaksanaan kegiatan, Bu Siti Rukayah berulangkali mengingatkan, bahwa apa yang akan dilakukan adalah sebuah ibadah. “Selama berniat meringankan beban orang lain, insyaAllah beban kita juga akan diringankan. Jangan takut kekurangan. Akan selalu ada rezeki selama kita berusaha, ikhlas dan tak enggan berbagi” ucap beliau.

Hujan mulai reda. Rombongan Mbak Rita bersiap pulang. Masih panjang perjalanan yang akan mereka tempuh. Bulan April kami akan bertemu lagi. Semoga Yang Maha Kuasa memberi kemudahan. Aamiin.

Aku menyisir jalan di sisi tanggul penahan ombak. Tampak semburat jingga di kaki langit barat. Kembali, aku teringat sebuah dusun yang kami kunjungi bulan lalu bersama rombongan Mbak Rita. Dusun itu tidak terlalu jauh, namun tersembunyi di belakang Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Untuk menuju ke tempat itu, harus menaiki sampan dengan waktu tempuh sekira 10 menit. Maka kuputuskan untuk ke sana. Masih cukup waktu. Maghrib nanti kuperkirakan sudah sampai di kost.

Setelah menitipkan sepeda motor di sebuah bangunan koperasi, aku menaiki sampan yang di dalamnya sudah bermuatan tiga orang. Kali ini aku berhenti pada halaman mercusuar di tepi dusun. Tidak masuk jauh ke perkampungan. Selain masih gerimis, aku hanya ingin menjejak lagi tempat yang telah melelehkan hatiku.

Disini banyak anak usia 6 sampai 12 tahun yang tidak mengenyam bangku sekolah. Disini juga berdiri gubuk-gubuk dengan jarak hanya setengah meter saja dari air laut. Bangunan geribik 4 x 5 meter tanpa kamar, tempat tidur, apalagi dapur. Ketika air laut pasang, segala sampah dan kotoran hanya berada sejengkal di depan mata. Disini pula, kujumpai beberapa keluarga yang memiliki anak tujuh sampai delapan orang. Dengan usia tertua masih belasan tahun.

“Mengapa nggak KB Bu?” ucapku waktu itu, kepada ibu muda yang sedang menyusui bayinya.

“Nggak punya uang, Mbak” jawabnya sambil tersenyum malu. “Lho, KB bukannya gratis Bu?” tanyaku heran. “Iya, gratis kalo pil. Tapi kalo suntik harus bayar 20 ribu. Uang segitu, kalo tiap tiga bulan ya nggak ada Mbak. ”.

Selanjutnya aku tak lagi bertanya. Tak mampu lagi bertanya lebih tepatnya. Ku amati anak-anak kecil yang bermain riang. Sebagian besar tanpa alas kaki, ada juga yang tak bercelana. Hanya kaos lusuh menutupi tubuh atasnya. Warna rambut mereka seragam. Merah gimbal seperti yang dimiliki anak-anak gaul sekarang. Bedanya, warna merah ini karena panas matahari.

Kurang lebih satu jam kami menelusuri dusunbersama rombongan. Di ujung dusun, kami melihat lengkung merah, kuning, hijau, jingga dan ungu tercetak di cakrawala. Berdua mbak Rita aku berlari-lari naik ke atas tanggul. Berteriak histeris “Pelangi…! Pelangi...!”. Berebutan kami mengabadikan pemandangan senja itu dengan kamera. Pelangi di atas laut.

Senja hampir habis. Ku tatap langit dan laut di depanku. Senja ini mirip senja sebulan lalu. Ada gerimis yang jatuh satu-satu. Gubuk-gubuk itu masih dengan kondisi yang sama. Dengan segala keterbatasan yangdi sebut kemiskinan. Wajah-wajah penghuninya juga masih ramah berjubah keikhlasan. Atau kepasrahan? Entahlah. Yang aku tahu, tak ada keluhan diantara percakapan kami. Mungkin mereka pintar menyembunyikan. Atau mungkin itu hal yang sudah dianggap biasa, sesuatu yang mesti mereka terima apa adanya. Sungguh, keikhlasan yang masih tak bisa kumengerti. Hingga saat ini.

Aku beranjak pulang.Senja ini mirip senja sebulan lalu. Namun tanpa pelangi.

1363508056725978926
1363508056725978926

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun