Mohon tunggu...
Ratna Juwita
Ratna Juwita Mohon Tunggu... -

Pecinta Senja, Hujan, Laut, Bunga Rumput dan Embun.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta Adalah Senja

16 Februari 2013   18:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:12 561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13610382451639660141

Jatuh cintalah kepadaku, Seperti seekor burung yang tak membutuhkan apa-apa Selain jalan pulang ke sarang

************

Perempuan itu bergegas membereskan barang-barang di atas meja. Map, buku-buku, laptop, kotak pensil dan pernak-pernik lain. Setelah berpamitan dengan rekan dii sebelahnya, ditinggalkannya gedung bercat hijau itu. Tak seperti biasanya, tidak menunggu hari beranjak petang, Senja memutuskan untuk pulang. Ada yang merisaukannya sore ini, dan dia ingin segera menikmati risau itu sendiri.

Matahari rebah di langit barat. Jingga. Sketsa langit sore yang tak pernah jemu diakrabinya. Serupa dia menuliskan puisi dengan penanya. Dan Senja, bercakap dalam diamnya. Ingatan tentang lelaki itu selalu saja mampu menggigilkan akalnya. Lelakii yang telah berusaha diusir dari detik menitnya. Dengan berupa cara, beribu alasan, namun selalu kembali dengan aroma yang kian melenakan. Memabukkan.

Takdir sedang mencandaiku. Apa yang kau lakukan sebenarnya? Mengapa kau tetap bergeming di kepalaku dan tak hendak pergi? Bukankah sudah kupersilahkan kepadamu untuk terbang mengawan?

Ahh, Cinta…lihatlah. Aku disini. Aku terperangkap, mungkin selamanya.

***********

Sudah hampir satu jam kedua karib itu berbincang. Sambil menikmati alunan Still The One-nya Shania Twain, Senja memeluk lutut diatas karpet merah. Didepannya, Dee bertopang dagu memandangnya tajam, seperti ingin membaca seluruh pikiran Senja. Dee mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tak bisa lagi dii hindari. Harus dia jawab, tuntas.

“Kamu sadar kan dengan yang kamu lakukan? Kamu pernah merasakan bagaimana dikhianati Senja” “Iya, aku sadar dan tahu betul bagaimana rasanya. Sakit”.

“Lalu?”

Sejenak Senja memejamkan mata. Mengumpulkan yang berserak dalam pikirannya. “Aku sudah letih mengusir rasa ini. Kubuang sejauh yang aku bisa.Tapi dia selalu kembali, mengikatku, memperangkapku. Aku bisa apa? Akupun nggak pernah minta rasa ini ada. Siapa yang bisa merencanakan cinta hadir kapan, dimana dan kepada siapa?”

“Tapi kamu tetap harus realistis, Senja. Tak ada harapan untuk cinta seperti ini, hanya akan menguras airmata pada akhirnya. Bukan cuma perempuan itu, tapi juga kamu, dia, semua akan terluka. Mungkin tidak sekarang, tapi nanti”

Terluka? Senja menarik nafas pelan. Membiarkan sahabatnya melahap kegundahannya. Dia tak ingin menyembunyikannya, dan memang tak bisa.

“Aku sadar dengan posisiku. Aku nggak meminta banyak darinya. Dia milik perempuan lain, dan aku tak hendak merebutnya. Aku cukup dengan cintanya, dengan perhatian-perhatian sederhananya, dengan kalimat-kalimat teduhnya. Dia akan selalu bersama perempuannya, dan aku sama sekali tak ingin merubah itu. Aku hanya minta tempat disalah satu ruang hatinya. Selama aku bisa menjaga itu, kuharap tak akan ada yang terluka”.

“Kamu selalu keras kepala kalau menyangkut tentang cinta. Kebanyakan teori, pemimpi”, Dee bersungut-sungut.sambil melemparkan bantal kecil ke arah Senja.

“Aku ini pemuja cinta, kamu lupa?” tukas Senja mengurai senyum.

“Iya, aku tahu. Dan karena itu, kamu rela sakit dibuatnya. Seindah apa sih cintamu? Sehebat apa pangeranmu? Coba jelaskan, siapa tahu otakku ini bisa menampung cerita dongengmu”, masih dengan nada tak puas Dee menuntut jawaban.

Dihujani pertanyaan demikian rupa, mau tak mau Senja membayangkan lelaki yang dicintainya. Lalu yang muncul didepannya adalah senyum lelakinya. Matanya berbicara. Seperti rangkaian kata-kata,”aku disini Senja. Aku akan menadah tangismu, mengelus jiwamu, dan membawamu ke puri impian kita”.

“Hei, helloo…!! Senja, jawab aku!” teriakan kecil Dee membuyarkan sosok lelakii Senja begitu rupa.

Senja sedikit tergagap, lalu dilemparkannya pandang keluar jendela. “Dia, adalah lelaki yang bersabar dengan muramku, diamku, juga sifatku yang angin-anginan. Termasuk keanehanku. Kamu kan tahu, aku ini aneh, nggak semua orang bisa memahamiku. Dan aku ralat ya, sama sekali nggak ada rasa sakit disini. Aku bahagia”, Dikembangkannya seulas senyuman. Mencoba meyakinkansahabatnya tentang semua perasaan yang dia punya.

Namun Dee menimpali dengan kalimat tanpa jeda “Kamu bukan aneh Senja, tapi terlalu p-e-m-i-l-i-h. Nggak ada orang yang sempurna di dunia ini. Setiap laki-laki yang mendekati, kamu bilang nggak nyambung, nggak klik, nggak ada chemistry. Padahal mencoba saja belum”.

Tawa Senja meruah, “Aku nggak harus mencobanya Dee, radar di hatiku sudah tahu mana yang klik atau tidak dengan jiwaku”

“Lalu mau sampai kapan kamu akan bertahan dengan cinta dan hubungan nggak jelas ini?”. Sambil bersedekap, Dee menatap mata Senja lekat, “Kamu nggak pingin menikah, memiliki dan dimiliki seseorang?”.

Lagi-lagi Senja melemparkan senyum, yang membuat Dee makin dalam menekuk bibir. “Buatku, kami sudah saling memiliki kok. Memang tidak secara fisik, tapi hatinya, aku yakin milikku, seperti hatiku juga miliknya, utuh, penuh”.

Senja melanjutkan kalimatnya sambil beranjak ke tepi jendela “Dia adalah muara, tempat hentikan letih-lelahku. Dia memahami jiwaku, lebih dari aku memahami jiwaku sendiri. Tidak pernah aku diperlakukan seperti ini, semengerti ini. Dia seperti bagian iwaku yang terbelah sejak lama. Kalaupun aku tak bersamanya, itu hanya secara raga. Tapi jiwa kami selalu bersama. Mungkin kamu bilang ini sia-sia, Tapi aku cinta.

Cahaya itu jelas dimata Senja, ketika mengisahkan tentang lelakinya. Cahaya yang lama tak Dee lihat pada bola mata sahabat terkasihnya. Dan sebanyak apapun kalimat bantahan yang ingin dilontarkan, Dee memilih menahannya. Hatinya luruh melihat senyum bidadari di bibir Senja. Mungkin memang tak akan ada penjelasan apa-apa untuk sebuah cinta.

***********

Angin menerbangkan daun-daun kuning dari reranting pohon. Jatuh ke rerumputan. Padang rumput di pinggir kota ini adalah tempat mereka biasa bertemu ketika rindu tak mau lagi menunggu.

Dan disanalah mereka sore itu. Duduk bersisian, Senja dan lelakinya. Tangan Senja mendekap erat lengan yang melingkar dipundaknya. Suatu hal yang sangat disukainya. Lengan itu selalu mampu mendamaikan gundahnya. Memberi kekuatan padalemahnya.

Aku tidak akan pernah rela kehilangan damai ini, Cinta.

Seperti memahami bahasa batin Senja, lelaki itu mempererat pelukannya. Tak banyak yang mereka bincangkan. Semua telah dipahami tanpa kata.

Kerapkali Senja membayangkan, beginilah keadaannya. Bahwa suatu saat, lelakinya akan pergi. Tidak, bukan pergi meninggalkannya, tapi menuruti jarak yang menjauhkan langkah mereka. Dan kini, dalam hitungan hari, lelaki tercintanya akan pergi. Menetap ke lain kota, untuk sebuah pekerjaan yang tak bisa ditawar lagi. Senja tidak ingin bersedih apalagi menangis. Sejak dipertemukan dengan cinta Lelaki itu, airmata enggan mengalir pada wajah tirusnya. Pada keadaan apapun. Termasuk sore ini. Gundah, lelaki itu mengacak rambut Senja, “Aku harap kelak kita masih punya waktu untuk bertemu, walau semenit. Untuk mendengar suaramu, melihat binar matamu, dan tawa riangmu. Aku akan sangat merindukanmu”. Muram wajahnya ketika mengucapkan kalimat pertama setelah bermenit-menit mereka terdiam.

Senja menggenggam jemari lelaki itu. Lalu memeluk ke dadanya.

“Kita akan bertemu, pasti. Kita masih tinggal di planet yang sama kan?”

“Apa kamu akan bersabar menunggu? Aku nggak bisa menjanjikan kapan kita akan bertemu, tidak tahu apakah waktu dan keadaan mau berbaik hati pada kita. Dan nggak mungkin aku memaksamu untuk terus merindu dalam sepi”.

Matahari sore begitu jingga. Jatuh sangat elok pada wajah Senja. Lelakinya makin jeri membayangkan jarak yang akan menjauhkan mereka. Tak akan melihat perempuannya pada waktu lama, entah berapa minggu, bulan, atau mungkin tahun. Walau belum terlewati, sudah terasa begitu menyesakkan.

Kepada ilalang dan rerumputan, Senja mengalihkan pandang. Meski meyakinii bahwa tak akan pernah ada kehilangan selama cinta erat tergenggam, mereka tak bisa memungkiri bahwa rasa kehilangan itu kini begitu dekat dan sangat menakutkan.

Nyaris bergumam, Senja berucap pelan,”Jangan bilang aku menunggumu, Cinta. Aku nggak pernah menunggu, karena kamu selalu ada disini, jiwaku. Kita sudah terbiasa dengan jarak bukan? Selama ini juga kita jarang ketemu. Dan soal sepiku, hhmm…kamu mengenalku seperti mengenal dirimu sendiri. Tanpa kamu paksa, Aku tak hendak kemana-mana. Kan kamu sendiri yang bilang, kita sudah sampai pada batas yang kita cari. Jadi, sepertinya nggak ada yang harus kita takutkan. Jarak cuma hitungan kilometer. Itu saja”.

Senja berusaha membujuk embun yang berebut jatuh dari kedua matanya. Dia sudah memilih. Dan akan bertahan. Cintanya pada lelaki itu, meski harus berkubang sepi, akan dia nikmati. Entah berapa ratus masa, dia akan tetap disana, menyimpan seluruh jejak yang pernah ada. Kalaupun nanti jejak itu memburam, akan dia usap hingga gemintang. Dengan sedikit harapan, mungkin nanti ketika telah renta dan rambut memutih, hidup masih menyisakan sedikit waktu untuk mereka. Untuk saling memiliki, utuh. Jiwa dan raga. Kalaupun itu tak menjelma, tak akan pernah ada yang tersia-sia. Senja dan cintanya.

Suatu saat, kita pasti akan bertemu, Di sebuah bukit yang dipenuhi padang ilalang. Dengan angin yang melagukan dendang kerinduan. Dan rasa yang kelakbegitu renta, tak akan butuh lagi kata-kata.

Karena setiap jiwa yang terbelah akan menemukan bagiannya, maka menunggumu tak akan pernah ada jemu. Disana, kita, akan meniti jejak di permukaan pelangi. Melarungkan rindu.

**********************

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun