Mohon tunggu...
Gema AisyiyahMasruri
Gema AisyiyahMasruri Mohon Tunggu... Lainnya - Alumni Mahasiswa

Penulis yang menyukai aroma hujan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno Pilihan

Blue Moon: Fenomena yang Tidak Seperti Namanya, Hubungan dengan Perikanan

15 Agustus 2023   15:23 Diperbarui: 15 Agustus 2023   15:35 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Eileen Rollin/ Unsplash 

Luar angkasa tampaknya sedang unjuk diri, khususnya pada bulan Agustus ini. Seperti yang dijelaskan pada artikel sebelumnya, pada pertengahan Agustus ini hujan meteor Perseid menjadi sebuah fenomena yang banyak diperbincangkan dan dinantikan oleh banyak orang. Tidak sedikit yang bahkan mendaki gunung atau pergi ke daerah yang jauh dari polusi cahaya dan udara demi mengabadikan momen langka tersebut. Kini, pada akhir bulan Agustus 2023, giliran bulan yang menjadi buah perbincangan. Pasalnya, fenomena ini disebut dengan Blue Moon, dan orang-orang, yang hanya sekadar penasaran, sampai seorang astrophile, kembali ingin mengabadikan fenomena luar angkasa yang tampak indah dan juga misterius.

Blue Moon, Rotasi, dan Warna

Blue Moon, atau Bulan Biru, sering diucapkan setiap kali ada fenomena, atau pun kejadian langka yang terjadi, entah itu dalam status sosial, maupun alam, dalam Bahasa Inggrisnya dikenal dengan frasa, "Once in a Blue Moon." Fenomena yang akan terjadi pada akhir Agustus ini pun, juga disebut dengan Blue Moon, walaupun fenomena ini tidak akan membuat sebuah bulan akan berwarna biru.

Awal mula fenomena ini disebut dengan Bulan Biru, adalah dari penjelasan rotasi bulan yang dimana dianggap terjadi pada setiap purnama ketiga pada 1 musim (yang berlangsung selama 4 bulan dengan 4 kali purnama) yang dijelaskan oleh NASA, dikenal dengan Bulan Biru Musiman (Seasonal Blue Moon).

Sementara itu, penjelasan lainnya, yang kemudian digunakan hingga sekarang karena jauh lebih mudah dimengerti, ketika bulan purnama kedua dalam bulan kalender yang memiliki 2 kali fase bulan purnama, dikenal dengan Bulan Biru Bulanan (Monthly Blue Moon). Tetapi, pada Februari 2018 silam tidak terjadi bulan purnama 2 kali, maka bulan Januari dan Maret yang memiliki 2 kali bulan purnama. Akan tetapi, masing-masing definisi tidak menjelaskan bahwa tidak semua tempat di dunia akan mengalami jumlah maupun posisi Bulan Biru yang sama dalam satu tahun. Hal ini berhubungan dengan zona waktu dari belahan dunia yang berbeda.

Untuk lebih jelasnya dari penjelasan kedua, fase bulan membutuhkan waktu 29,5 hari untuk mencapai purnama, dan jika ditotalkan hanya membutuhkan 354 hari untuk menyelesaikan 12 siklus bulan. Jadi, setiap 2,5 tahun sekali, bulan purnama ke-13 akan teramati dalam 1 tahun kalender, yang lalu disebut dengan Bulan Biru. Berhubungan dengan penjelasan sebelumnya, Februari yang mencapai tanggal 29 setiap 4 tahun sekali (tahun kabisat) bisa memengaruhi ada atau tidaknya bulan purnama dalam 1 bulan. Bisa saja, pada bulan Februari tidak mengalami 1 bulan purnama. Setiap fenomena ini terjadi pada bulan Februari, maka Januari sebelum dan Maret sesudahnya akan mengalami 2 kali bulan purnama, yang menghasilkan 1 tahun dengan 2 kali Bulan Biru.

Lalu, bagaimana asal mula munculnya nama Bulan Biru terhadap peristiwa ini? apakah hanya karena terjadinya fase purnama ke-13 saja? Penjelasannya dari ini dijelaskan oleh NASA, pada tahun 1883 ketika Gunung Krakatau Meletus di Indonesia dan terjadi erupsi akan bencana tersebut, saat itu abu membumbung sangat tinggi hingga 80 kilometer menuju atmosfir. Partikel abu yang halus itu, menghamburkan cahaya merah dan mengubah warna bulan menjadi biru-kehijauan. Penjelasan lainnya berasal dari beberapa sejarah dan juga ada hubungannya dengan ilmu astrologi.

Hubungan Blue Moon dengan Ikan di Lautan

Lautan mengalami pasang naik dan pasang surut, sesuai dengan kondisi Bulan dengan Bumi. Bulan dan Bumi saling memberikan gaya tarik gravitasi. Di Bumi, tarikan gravitasi Bulan menyebabkan lautan menonjol di sisi yang paling dekat dengan Bulan (pasang naik), dan sisi yang paling jauh dengan Bulan (pasang surut). Selain itu, ketika bulan purnama, pasang naik akan 2 kali jauh lebih tinggi dari sebelumnya, hal ini djelaskan oleh peristiwa dimana saat itu gravitasi dari Bulan dan Matahari saling tarik menarik di Bumi. Dengan demikian, Bulan Biru juga akan memegaruhi kondisi pasang surut air laut, sebab fenomena ini juga termasuk kedalam fase bulan purnama, yang memiliki gaya gravitasi dengan Bumi.

Sementara itu, apakah ikan-ikan yang hidup di air laut akan berpengaruh terhadap fenomena Bulan Biru atau pasang naik dan pasang surut itu sendiri?

Banyak hewan bergantung dengan cahaya untuk melihat, sehingga di hipotesiskan, bahwa selama bulan purnama, predator akan berorientasi visual akan jauh lebih aktif dalam mencari mangsa karena mudah dilihat. Contohnya ikan bass mendapatkan makanannya jauh lebih efisin di malam hari yang sedang terang oleh cahaya bulan (McMahon dan Hoanov 1995). Penjelasan ini bisa jadi berhubungan secara tidak langsung dengan pemangsa dalam mengikuti mangsa yang lebih aktif selama kondisi cahaya bulan yang tinggi (Gilwicz 1986).

Steinhart & Wurtsbaugh (1999) juga mengatakan hipotesis yang menarik, bahwa efek bulan terhadap perilaku ikan dapat diredam selama bulan-bulan musim dingin di danau yang ebrada di garis lintang tinggi, ketika lapisan es dapat meredam intensitas perubahan cahaya bulan. Selain perilaku makan, reproduksi spesies juga bergantung dengan siklus bulan. Lebih banyak cahaya akan memberikan keuntungan bagi ikan dalam mengasuh anaknya, namun tantangannya adalah pemangsa yang aktif. Bahkan, beberapa spesies ikan non-parental, dapat memijah selama 1 bulan baru untuk meningkatkan kesempatan hidup telur-telurnya.

Meskipun cahaya bulan dapat membuat ikan bergerak aktif di air tawar maupun air asin, efek gravitasi bulan tetap saja hanya terasa di air laut. Beberapa ikan akan bergantung dengan pasang surut ekstrim untuk mendapatkan akses ke habitat pemijahan dan makanan yang mereka sukai. Spesies ikan lainnya juga memanfaatkan pasang surut air laut untuk menyebarkan telur-telur mereka agar anaknya bisa mengakses sumber makanan yang lebih baik (Danylchuck dkk. 2011). Terakhir, pemijahan di malam hari dapat membantu meningkatkan kelangsungan hidup ekosistem terumbu karang yang sering memiliki kepadatan predator yang tinggi.

Daftar Pustaka lainnya:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun