Menjernihkan Berita “Pesantren Sarang Narkoba”
Belakangan media sosial gaduh oleh pernyataan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Luhut Binsar Panjaitan. Dalam seminar ekonomi yang diadakan CIMB Niaga pada Kamis, 4 Februari 2016 lalu, ia mengatakan bahwa saat ini banyak pesantren yang terjangkit narkoba. "Banyak dari mereka yang tidak tahu bahwa yang mereka konsumsi itu adalah ekstasi," ujarnya seperti dikutip Tempo.co (4/2).
Sontak, penilaian ini memicu reaksi keras dari para santri. Santri menolak karena pesantren mereka dicap sebagai sarang narkoba. Bahkan, ada seorang santri dengan ketus menulis: setelah pesantren dicap sarang teroris, kini sarang narkoba, besok sarang apa lagi? Reaksi ini wajar, karena pesantren, lembaga pendidikan pertama dan tertua, yang selama ini menjadi ujung tombak pembinaan karakter, mental, budi pekerti anak bangsa dilabeli sarang narkoba.
Tapi harus dipahami bahwa pernyataan, penilaian atau kesimpulan sekali pun adalah tafsir. Sebagai “sama-sama tafsir” harus terbuka, bisa diuji dan dilakukan verifikasi – dengan tafsir lain secara santun. Dalam konteks ini, pernyataan “banyak pesantren yang terjangkit narkoba” bersifat falsifikatif; bisa benar/bisa salah. Benar kalau ada data yang mengkonfirmasi itu, dan salah kalau data pesantren yang ditemukan jumlahnya lebih sedikit dari jumlah banyaknya pesantren yang bebas dari narkoba.
Mengaburkan Masalah
Jadi, tepat kalau pernyataan Pak Luhut itu tidak bisa digeneralisir. Begitu pula dengan tafsir para santri terhadapnya. Apakah menarik kesimpulan “pesantren sarang narkoba” itu bukan generalisasi juga? Artinya, jika ditemukan ada pesantren yang bebas narkoba sebagai dasar penolakan santri, maka label “pesantren sarang narkoba” sudah gugur dengan sendirinya. Jadi, di era keterbukaan informasi, pola komunikasi yang mestinya dibangun bukan memosisikan diri paling benar dan memosisikan orang lain salah/keliru.
Sebaliknya, yang justru perlu kita bangun adalah rasa pengakuan diri secara asertif untuk menerima kekurangan diri dan mengakui kelebihan orang lain dengan semangat saling memberi dan menerima. Dengan demikian, komunikasi saling mendeskriditkan, apalagi fitnah bukan lagi kelaziman yang perlu kita pelihara. Karena, yang demikian itu hanya akan menguras tenaga dan mengaburkan substansi masalah yang sebenarnya, yaitu narkoba sebagai musuh kita bersama.
Lagi pula, dalam konteks komunikasi, Al-Qur’an memerintahkan kita untuk selalu “fatabayyanuu”, memeriksa dengan teliti. (Al-Hujurat: 6). Maksudnya, teliti berita dengan cermat, dengan pelan-pelan, dengan lembut, tidak tergesa-gesa menghakimi berita dan tidak meremehkan urusan, sehingga benar-benar menghasilkan keputusan yang benar (baca Tafsiru Ayatil Ahkam: 1/226, Fathul Qodir: 7/10). Oleh karena itu, memahami teks dan konteks pernyataan Pak Luhut tentu menjadi keniscayaan.
Tak ada pendeskreditan
Sebagai Menko Polhukam, pernyataan apa pun darinya tentu bukan rekaan yang keluar tanpa dasar, tanpa bukti, tanpa referensi yang bisa diklarifikasi dari mana datanya, sumbernya dan lain sebagainya. Pernyataan Mantan Kepala Staf Kepresidenan tentang narkoba di pesantren itu berdasarkan berita yang didapatnya dari beberapa pengasuh pondok pesantren di Jawa Timur. Bahwa ada peristiwa di mana santri diberi obat yang dikatakan sebagai vitamin disertai iming-iming: jika dikonsumsi santri akan kuat berdzikir semalam suntuk.
Tetapi di kemudian hari, ternyata diketahui obat yang disebut vitamin itu adalah ekstasi (ecstasy). Pernyataan ini jelas sama sekali tidak ada unsur pendeskriditan santri atau pesantren. Pernyataan itu hanya untuk memberikan latar belakang tentang bagaimana maraknya penyebaran narkoba yang dimulai dari pemberian secara gratis, lalu ketika sudah ketagihan, mereka (yang mengkonsumsi) akan sulit berhenti.