Menabuh gendang kasmaran untuk kesekian kalinya bersamamu. Hidup itu aneh tapi aneh yang sangat sempurna. Tanpa cacat sedikitpun. Kita pun telah dicemooh sebagai orang yang aneh. Aneh atas jalan ini. Sekedar menjalani seharusnya bukan suatu yang aneh. Tapi bagi mereka yang merasa punya kuasa atas jalannya sepertinya tak ada kata sekedar.
Beberapa kali kuperhatikan kedua matamu mengatup lama. Kuperhatikan itu.
Engkau sudah tak nampak muda lagi seperti pertama kali aku bertemu denganmu. Ada garis kerut yang nampak samar di wajahmu.
Engkau pasti akan berkata sama tentang diriku. Aku sudah tak muda lagi dan kita berdua sudah tak muda lagi.
Kita berdua adalah sosok penunggu yang nyata. Kita berani menunggu tapi mendadak menjadi takut pada kata keputusan.
Entah berapa kali kudengar engkau menangis. Lelaki kekar yang tak sungkan menangis adalah dirimu. Sering kau tumpahkan kekesalan hatimu tentang hidupmu. Aku kadang hanya diam namun lebih sering mengikutimu, menangis.
Kau kata lelah. Aku pun lelah.
Kau kata kita menua. Aku tahu kita telah menua bersama tanpa kita sadari
Aku panggil kau hujanku. Kau panggil aku keramikmu. Aku pikir kita sering tumpah dan pecah bersama dalam bentuk dan wujud kita.
Dirimu terlampau lembut. Selalu ingin berada di tengah perang yang berkecamuk dengan adil. Namun sayang tak mampu engkau menolong salah satu untuk memenangkan perang. Malah seringnya engkau yang terkena senjata perangnya.
Itulah, sekedar dalam sekedar.
RD 04122012
kangen om galak malam-malam :p
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H