Pernah suatu ketika aku melihat seorang lelaki dengan rambut panjang sebahu menggendong tas punggung meniti jalan itu. Dia nampak ceria mendaki jalan menanjak menuju Merapi. Aku memandanginya tak berkedip. Kabut mendadak menuruni tempatku berdiri dan tempat dia berjalan. Beberapa temannya kulihat memanggilnya. Oh ternyata mereka mendaki gunung bersama.
Ketika itu aku masih tetap memandanginya dari tempatku berdiri. Mendadak ada rasa kagum dan rasa entah. Aku hanya tertegun memandangi. Dia sepertinya anak kuliahan. Ah mungkin salah satu mahasiswa dari salah satu kampus di Jogja. Kuperhatikan teman-temannya logat Jawanya kental-kental semua.
Kabut yang membawa air hujan gerimis sepertinya mendorong mereka untuk berhenti mendaki jalanan itu. Aku masih tertegun memandangi lelaki itu. Mereka memutuskan mencari tempat berteduh.
Ternyata langkah-langkah kaki mereka menuju tempatku berdiri.
Aku masih memandanginya. Aku mengamati wajah itu. Dia tampan, menurutku. Dia banyak tersenyum, itu yang kutangkap setelah beberapa waktu dia dan kawan-kawannya terlibat obrolan. Aku masih memandanginya. Kabut berlalu dan mereka sepertinya harus melanjutkan perjalanan itu. Aku hanya terdiam memandangi. Hingga akhirnya yang tertinggal hanya bayang punggungnya yang masih kupandangi.
Tahun berlalu dan aku masih memandanginya.
Lima tahun, sepuluh tahun, lima belas tahun dan aku masih memandanginya.
Dia takkan tahu aku selalu disempatkan oleh rasa untuk memandanginya. Dia takkan menyadari dirinya tertanam dan menjadi pemandangan indahku.
Tentu saja dia tak sadar, karena pandangan itu hanya sekedar penglihatan mata. Penglihatan yang kusebut maya. Pandangan pada ketika. Pandangan pada suatu. Pandangan pada waktu. Karena aku tak ada.
RD 29112012 mengenang Kaimana-takkan hilang
Letak kenangan itu di relung. cobalah menerka maka takkan kau mendapatinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H