Mohon tunggu...
Andi Ideot Ideot
Andi Ideot Ideot Mohon Tunggu... profesional -

"..aku adalah tautan sang waktu: awal dan akhir dari abstraksi perjalanan mimpi yang mencari dalam tragedi putaran emosi tentang penjabaran arti dan tujuan hidup.."

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Perebutan Kursi Kosong

12 Desember 2012   23:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:46 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mungkin penekanan yang akan saya tulis di awal, buku ini tidak “setumpul” yang diperkirakan sebelumnya. Efek banyak membaca review negatif tentang Casual Vacancy, toh ekspektasi saya juga tidak besar...

Oke. Jadi yang paling menonjol adalah, buku ini tidak punya tokoh sentral seperti cerita pada umumya. Kalau mau menyebutkan poros cerita ini, ya Barry Fairbrother karena dia yang selalu muncul dalam dialog antar tokoh. Barry yang seperti mutiara diantara lumpur, seorang tokoh protagonist diantara kumpulan orang-orang sinis, sadis, sarkatis yang penuh kebencian, orang-orang paling tolol brengsek (aduh!), tidak bermoral yang bisa dibayangkan.

Gambaran mudahnya, buku ini berisi banyak cerita dengan satu benang merah. Ada cerita tim dayung dan permasalahan individu anggotanya, masalah antara orang tua dan anak, KDRT, ketakutan akan komitmen, kekecewaan terhadap pasangan, kondisi psikologis pubertas (yang terlihat sepele tapi bila kita alami akan terasa beratnya) dan mereka semua terhubung, saling mengenal, (terlepas dari setting kota kecil yang penduduknya sedikit dan saling mengenal) dengan satu garis merah yaitu kematian Barry Fairbother dan perebutan kursi kosong Dewan Kota yang ditinggalkan Barry.

(-) Tadinya saya ingin menempatkan “konflik yang mentah”-(perebutan kursi kosongnya) sebagai kekurangan di buku ini. Tapi setelah ditinjau ulang, mungkin memang fokusnya ke konflik-konflik kecilnya, bukan fokus ke politik, dan usaha mendapatkan posisi di dewan kota dan hal yang berkaitan dengan itu. (Semacam Love Actually, kalau kalian sudah nonton filmnya pasti ngerti maksud saya)

(+) Tapi yang saya suka dari buku ini adalah buku ini masih “berasa” kok gaya penulisan “J.K Rowling-nya” . Saya sudah baca semua buku yang dia tulis, termasuk pelengkap Harry Potter seperti Quidditch Dari Masa ke Masa sampai The Tales of Beedle the Bard. Di novel sesuram ini, bahkan masih terselip humor gelap yang malah berasa lebih lucu karena sejak awal emosi yang tertuang di buku adalah emosi negatif. Pas bagian *beep* saya sampe ngakak, padahal settingnya lagi pemakaman (spoiler)

Cacian, makian dan kata kasar betebaran disini. Saya pernah menonton acara diskusi linguistik, dan salah satu narasumber berpendapat, sisipan kata kasar fungsinya untuk memperkuat, dan mempertegas makna emosi dalam suatu kalimat. Lagipula kata kasar disini konotasinya berbeda dengan film gangster atau lagu rap yang terlalu banyak menyisipkan makian gak jelas dan gak penting. Umpatan dalam buku ini memang bentuk manifestasi kekesalan tokohnya.  Membaca buku ini emosi saya (masih) terbawa, sekali lagi karena J.K Rowling menuliskannya dengan (masih) baik. Dia paling bisa mendeskripsikan, menarasikan hal yang tidak mungkin sehingga bisa masuk akal. Kita merasa dekat sekali dengan tokoh-tokoh ciptaan Rowling, saat membaca buku ini saya merasa tinggal bertetangga dengan tokohnya, merasa benci pada karakter mereka.

FYI, termahan buku ini ke dalam Bahasa Indonesia sangat cerdas, dan enak. +100 buat Esti A Budihabsari, Andityas Prabantoro, dan Rini Nurul Badariah. :D

Di bagian belakang buku ini ada tulisan BACAAN UNTUK DEWASA, besar, jelas dan tegas. Di Indonesia biasanya konteks “dewasa” kental dengan konotasi untuk pornografi. Tapi pornografi malah hanya bagian kecil kok di buku ini. Yang menegaskan ini novel dewasa, selain kata kasar, contoh buruk tentang pembangkangan dan kelancangan pada orang tua, adalah emosi (lagi) yang akan sulit dipahami anak dibawah umur. Saya malah menangkap buku ini bermaksud memperlihatkan sisi realistis, seperti menampar lalu berkata : “Proses kehidupan, pendewasaan dan menjadi dewasa memang keras tahu! Tidak akan bisa semudah dan sesederhana yang dibayangkan.”

Jadi apakah ini karya Rowling yang gagal? Tidak kok. Susah sih, move on dari Harry Potter yang buat saya juga seperti sahabat masa kecil :3 Yang perlu dilakukan sebagai pembaca hanya bijak bahwa target audience Rowling memang sudah berubah, bukan hiburan ketegangan petualangan buat anak dan remaja. Toh genrenya juga sudah berbeda dengan HP yang fantasi petualangan (saya bingung cerita seperti TCV ini masuk kategori apa)

Intinya saya mau kasih 4 bintang. Agak ragu karena buku ini terlalu bagus untuk 3 bintang dan kurang worth it untuk 4 bintang. Posisinya sekitar 3,7 (karena agak bosan dan bertele-tele) jadi saya kasih 4 bintang aja deh hehehe.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun