[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="Presiden Joko Widodo (KOMPAS.com)"][/caption]
Berada di Jakarta kurang lebih selama dua minggu membuat saya banyak merenung. Dasar saya tinggal di sini merupakan pengalaman pertama kalinya, tidak heran jika saya baru mengenal dunia Jakarta dalam waktu akhir ini. Jakarta...Oh Jakarta...Ibu Kota Indonesia yang sebenarnya tidak layak menjadi tempat Ibu Kota. Dari seluruh Indonesia, Jakarta merupakan tempat yang memiliki kepadatan penduduk paling tinggi. Ini tak lepas dari banyaknya para urban yang berbondong-bondong mencari penghidupan di Jakarta sejak jaman setelah Indonesia merdeka atau bahkan sebelumnnya.
Para urban ini berasal dari seluruh lapisan masyarakat dari berbagai pulau di Indonesia, baik yang berpendidikan atau yang kurang berpendidikan. Yang paling banyak menimbulkan masalah yaitu diantara mereka yang kurang berpendidikan, di Jakarta bukannya bekerja melainkan menjadi orang yang hidup berkesusahan di sini. Yang saya pikirkan kenapa pemerintah khususnya Jakarta tidak mempunyai ketegasan bagaimana nasib orang-orang pinggiran yang hidup dan berada di Jakarta?
Entah solusi apa yang akan diambil, akan menyediakan lapangan pekerjaan kah, atau memindahkan orang-orang pinggiran di Jakarta melakukan transmigrasi ke pulau yang masih jarang ditinggali atau jalan lainnya. Intinya, kepadatan penduduk di Jakarta sudah semakin meningkat.
Pada mulanya dari Semarang, dimana tempat tinggal saya berada, saya sengaja datang kemari beberapa waktu kedepan untuk bisa menikmati kelebihan yang ada di Kota Jakarta dibandingkan kota-kota yang pernah saya kunjungi sebelumnya. Seperti Kota Yogyakarta, Surabaya, Semarang, Pontianak, dan  kota-kota yang ada di Bali. Sebelumnya saya sudah yakin, di Jakarta akan lebih bagus dan istimewa.
Betapa mengagetkan ketika pemandangan gedung megah, tinggi dan berkelas Internasional yang ada di Jakarta itu terselimuti wajah-wajah kemiskinan dan keterbelakangan. Sekalipun saya dari desa, akan tetapi saya sebelunya tidak pernah melihat anak-anak dibawah umur apalagi berjenis kelamin perempuan mengamen di bus dan di jalanan. Anak-anak dibawah umur menjadi pedagang asongan. Anak-anak dibawah umur dan balita terdidik menjadi pengemis disepanjang jalan.
Nasib anak-anak itu sekarang ini menjadi tanggung jawab siapa? Masa depan anak itu tanggung jawab siapa? Ataukah negara kita memang memelihara mereka ada, tanpa memberikan bukti yang nyata bahwa mereka mempunyai kewajiban ''Melindungi''. Semestinya melindungi disini juga bertanggung jawab untuk mensejahterakan mereka!
. bahwa agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi; . bahwa untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak diperlukan dukungan kelembagaan dan peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin pelaksanaannya;
Diatas merupakan kutipan dari UU RI No.23 tahun 2002, kedua poin itu merupakan urutan ke-4 dan ke-5. Bukti nyata untuk mereka dari pemerintah apa? Jika pemerintah membiarkan mereka, sama saja pemerintah tidak peduli dengan nasib mereka, pemerintah Indonesia tidak dapat dipercaya. Indonesia sengaja memiskinkan negaranya sendiri demi bisa mempertahankan sesuatu yang bisa mendapatkan malu dari negara-negara tetangganya dan negara lainnya.
Dengan sumber daya alam yang melimpah, kenapa banyak tenaga kerja yang disalurkan untuk bekerja di luar negeri? Alasan yang paling spesifik banyak yang mengaku bahwa, di luar negeri bisa mendapatkan gaji yang lebih. Padahal sebenarnya resiko bekerja di luar negeri juga lebih besar daripada bekerja di negera sendiri. Jelas-jelas lah sudah jika di Indonesia pemerintah belum bisa mengatasi kemiskinan.