[caption id="attachment_354537" align="aligncenter" width="680" caption="Ilustrasi Pendidikan/Kompasiana (Tribunnews.com)"][/caption]
Aku seorang pembantu. Duniaku itu identik dengan bayangan bahwa seorang yang bekerja ikut orang lain, yang mau melakukan apa saja sesuai perintah majikan, tentunya dalam hal yang baik pada umumnya. Dalam kesehariannya aku selalu melakukan pekerjaan yang hampir sama dan rutin, itu- itu saja. Pakaian yang kupakai pun alakadarnya dan biasa saja. Rambutku cukup diikat satu, dengan muka tanpa make-up.
Jika pekerjaanku sengaja/ tidak sengaja ternyata salah maka harus siap menerima hukuman atau cercaan dari majikan, aku itu kumuh karena setiap hari menyentuh baju bau keringat dan kotor majikanku, juga hari- hariku tak pernah lepas untuk membersihkan WC.
Tanpa disadari pekerjaan mempengaruhi psikologisku, sesekali ada rasa malu, rendah dan tidak terima apabila aku harus menerima kenyataan bahwa aku menjadi seorang pembantu. Sudah kujadikan pedoman jika pekerjaan yang aku lakukan itu halal. Aku sering menasehati diriku sendiri untuk tidak rendah diri terhadap teman- teman SMA-ku yang sudah lulus dari perguruan tinggi.
Dalam hening disebuah malam yang seperti ini, terselip perasaan yang ganjil antara cemas dan adanya kekuatan batin di hati untuk bisa bersaing dengan teman- temanku yang telah berhasil lainnya. Tetapi, bagaimana ya? Pengalamanku masa lalu yang lebih banyak mengalami kegagalan terkadang membuatku ragu untuk bisa meraih kemenangan.
Depresi yang pernah aku alami seakan tak terhitung, dari mulai aku merasa tak nyaman dengan diriku sendiri karena kurang kasih sayang dari orang tua, gagalnya aku menyesuaikan diri dengan teman sebaya selama sekolah membuat nilaiku minim sehingga aku tak mampu melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi, sedangkan tamatan SMA itu sangat sulit untuk mencari pekerjaan, akhirnya aku depresi untuk mencari pekerjaan. Dampak buruk akibat patah hati dari pengalaman berpacaran pun aku dapatkan, mendorongku untuk menjadi pembantu di luar negeri.
Saat ini dengan dekatnya aku dengan media sosial yang bisa diakses lewat online seperti Kompasiana ini, sedikit banyak telah mengikis ke-parno-anku yang bertahun- tahun menculunkan diri. Telah banyak waktuku kuhabiskan hanya untuk murung dengan masalah yang kuhadapi, tanpa kutau jalan keluar  pemecahannya. Selain kurangnya relasi, aku juga tipe orang yang suka mengisolasikan diri. Untungnya, sebelum mendaftarkan diri di Kompasiana aku aktif membaca buku- buku psikologis setiap Minggu di Perpustakaan.
Dengan banyak membaca buku itu, aku bisa mengetahui siapa diriku sendiri. Dan aku paham kalau aku telah mengalami gangguan jiwa. Banyak kutemukan tips untuk bagaimana bisa hidup bahagia tanpa harus ada banyak uang atau materi lainnya, termasuk dekat dengan keluarga.
Kebahagiaan itu kudapatkan ketika aku bisa menerima kekuranganku, dan aku mengenali kelebihanku, aku sadar satu- satunya cara untuk menutupi kekurangan adalah dengan mengembangkan apa yang menjadi kelebihanku. Kebahagiaan itu ketika aku paham dan bisa mengerti orang lain dengan berbagai keragaman watak dan perilakunya serta menerimanya, membuat aku tidak memprioritaskan  aku  harus diMENGERTI orang lain. Kebahagiaan itu hadir ketika aku bisa mengubah pikiranku sendiri dengan menyimpulkan bahwa apapun masa laluku, semestinya tidak boleh menjadi sebuah alasan untuk diam ditempat melainkan aku harus berusaha semaksimal mungkin.
Kompasianaaaa....
Berhasilnya aku mempunyai akun Kompasiana, membuat semangat hidupku bangkit lagi. Bukan sekedar merasa bangga bisa mempunyai tempat khusus menulis, tetapi aku juga mendapatkan banyak perkenalan. Imajinasiku terus semakin terinspirasi setelah aku bertemu dengan beberapa teman Kompasianer, seperti Mbak Fera Nuraini, Mbak Ani Ramdhan, dan Fendy Rahayu. Dan lagi aku berhasil bertemu dengan Mbak Suprapti juga Mbak Mariyana Nissa, dimana kedua orang itu pernah ditulis kisah berhasilnya menyelesaikan study di Saint Marry, HK oleh  Pak Dian Kelana.