Mohon tunggu...
Seneng Utami
Seneng Utami Mohon Tunggu... lainnya -

an ordinary woman

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Mulai dari Polisi yang Kurang Sigap, Kondisi Psikologis Sopir & Tarif Harga Angkot yang Sembarangan di Jakarta

24 November 2015   13:16 Diperbarui: 24 November 2015   21:43 668
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari Polisi Lalu Lintas yang Kurang Sigap Beroperasi, Psikologis Sopir Angkot dan Ada Tarif Harga Angkot yang Sembarangan di Jakarta!

Mohon maaf sebelumnya apabila dari judul yang saya tulis itu bisa menimbulkan kemarahan atau kontravesri khususnya untuk pihak polisi lalu lintas yang saya anggap kurang berani beroperasi. Ijinkan saya untuk mengutarakan pendapat saya terlebih dahulu. Kemudian sekiranya apa yang saya tulis ini benar terjadi di masyarakat kita, mohon jangan salahkan saya ya. Terimakasih sebelumnya saya ucapkan kepada pembaca yang bersedia membaca tulisan sederhana saya.

Saya termasuk orang yang suka mengamati dan memperhatikan apa yang ada di depan mata saya, tak terkecuali lalu lintas yang ada di lapangan beserta aktivitasnya. Bagi siapa saja yang pernah ada di Jakarta atau mungkin sedang bertempat tinggal di kawasan Jakarta, terpikirkan nggak sih bagaimana indahnya jika kota jakarta ini tanpa macet, lalu kemana- mana tidak terdapat banyak masalah karena kondisinya yang baik dan aman.

Kita, sebagai pengguna jasa angkutan di Jakarta tentunya tidak punya pilihan lain untuk tetap harus menggunakan jasa angkutan yang lebih sering macet di Jakarta ini untuk menuju tempat- tempat yang ingin kita kunjungi termasuk ke tempat kerja, bukan? Dari judul diatas terdapat tiga poin pokok pembahasan yang ingin saya uraikan.

Yang Pertama, Polisi Lalu Lintas yang Kurang Sigap Beroperasi

Bukan bermaksud untuk membuat panas pihak polisi lalu lintas, tapi di sini saya ingin para polisi yang bertugas memberi pengayoman terhadap ketertiban lalu lintas menjadi lebih sadar diri akan tugas dan fungsinya. Bercermin pada tiga kejadian nyata yang pernah saya lihat.

Kejadian pertama, suatu malam di sebuah gang di mana saya dulu pernah bekerja di Jakarta dalam kondisi macet, disengaja atau tidak ada bus Kopaja menabrak pengemudi sepeda motor. Terdengar sepeda motor itu jatuh dengan kerasnya. Menjadikan banyak orang tersentak kaget. Lalu, berhentilah kopaja itu dengan dibarengi oleh turunnya para penumpang kopaja dengan ketakutan. Sebab, pengemudi sepeda motor langsung melempar sesuatu ke kaca bus kopaja. Maka pecahlah kaca bus itu, bukan hanya melemparkan sesuatu ke kaca itu sekali tetapi dua dan tiga kali. Sopir bus kopaja pun turun, mengenaskannya dalam keadaan seperti itu si sopir kopaja langsung ditempiling mulutnya tanpa melakukan perlawanan. Berdarah- darahlah mulut dan bibir sopir bus kopaja itu. Ada luka di bagian lehernya, terkena pecahan kaca. Sopir itu dipukuli bertubi- tubi. Akhirnya, bus kopaja itu dikemudiakan ke tempat lain untuk sejenak diparkirkan oleh seorang warga.

Dari sini, saya melihat ada permainan hakim sendiri diantara warga kita. Mereka seperti enggan mengadukan permasalahan ini kehadapan polisi tetapi mereka ingin kebenaran berpihak pada mereka. Ynag saya herankan, lamanya kekisruhan terjadi yaitu lebih dari setengah jam tetapi tidak ada warga kita yang melapor ke polisi, juga dari pihak kepolisian sendiri tidak ada yang mau datang ke lokasi sebab mereka tidak tahu kalau ada kejadian semacam ini. Barangkali lain waktu perlu juga tuh di pasang CCTV di sepanjang jalan utama. Pemandangan ini bagi saya adalah pemandangan yang kurang nyaman.

Kejadian kedua, suatu malam di tengah kemacetan saya naik angkot Koantas Bima, nah di sengaja atau tidak bus itu menyenggol sebuah mobil mewah. Memang sih, sedikit kecerobohan sopir bus itu ingin mencari cepat di tengah kemacetan dan kurang sedikit berhati- hati dengan keamanan. Maka turunlah si sopir mobil mewah sambil marah- marah sama sopir bus. Beruntung pemilik mobil mewah tidak langsung memainkan tangannya kepada sopir bus untuk memukul atau kekerasan yang lainnya. Tetapi percek- cokan diantara mereka sempat berlangsung lebih dari setengah jam. Dan itu menjadi sorot pasang mata para penumpang  bus yang ada.

Terlalu mewahnya mobil itu, pemilik mobil mewah ingin minta ganti rugi berupa uang. Si sopir bus tidak mau mengaku salah, akan tetapi pemilik mobil mewah ngotot ingn diganti rugi pakai uang. Tak dapat dielakkan, uang yang seharian tadi dikumpulkan dari keliling jalur yang sama, kepanasan dan penuh perjuangan semuanya habis diberikan kepada pemilik mobil mewah. Sebelum mereka bubar cek- cok, ada satu hal yang tidak saya sukai terhadap si pemilik mobil mewah yaitu ia menerima uang itu lalu memukulkan uang itu di depan kepala sopir bus seperti merendahkannya. Beginilah sekiranya potret dari main hakim sendiri.

Kejadian ketiga, sedikit cerita yang agak menjengkelkan sebenarnya. Pernah saya naik transjakarta dalam keadaan kehujanan dan penumpang penuh, mau tidak mau saya harus berdiri. Kaki saya basah, saya kedinginan sama AC, lalu dihadapkan sama macet hampir ada satu jam setengah dan boleh dibulatkan juga sampai dua jam lamanya, aduh berasa ingin pinsan deh. Apa yang menjadi sumber kemacetan, ternyata ada satu ruas jalan yang perlu dikendalikan minimal sama bapak polisi lalu lintas untuk membantu melancarkan kendaraan- kendaraan yang saling berebut kecepatan tersebut. Nah, kemana deh polisi yang bertugas menertibakan kendaraan itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun