[caption id="attachment_361198" align="aligncenter" width="560" caption="www.ayahidaman.wordpress.com"][/caption]
Keutuhan keluarga, kedamaian/ keharmonisan keluarga, dan kesejahteraan keluarga hendaknya menjadi tanggung jawab besar oleh kepala keluarga yaitu seorang laki- laki yang sudah menikah, berperan sebagai ayah dari anaknya, suami bagi istrinya. Sedangkan kualitas anak, lebih condong mengarah kepada ibu. Selain kedekatan ibu pada anaknya sejak bayi lahir itu ada, seorang ibu juga lebih sabar pada umumnya dibandingkan laki- laki.
Selayang pandang, menikah memang jalan yang baik demi terciptanya sebuah hubungan yang resmi dan sah berdasarkan hukum agama juga hukum negara. Yang ganjil dipikiran saya, kenapa di Indonesia orang- orang yang sudah berhasil menikah dan menjalin rumah tangga bahkan mempunyai anak justru mereka banyak yang tidak bahagia? Begitu banyak alasan mereka tidak bahagia, mulai dari keluhan banyaknya biaya kebutuhan sehari- hari, bermasalah dengan pasangannya, dengan anaknya, dan lain sebagainya.
Kata sederhananya yaitu, di Indonesia seorang laki- laki dengan kebebasan diperbolehkan menikah, akan tetapi sedikit dari mereka yang berhasil membina rumah tangganya dengan baik. Dapat diartikan juga JIKA, sebagian laki- laki sudah menikah tetapi gagal dalam membina rumah tangga pada jumlah tertentu, maka sejumlah perempuan itu pula yang menjadi pasangan tersebut juga merasa kurang bahagia.
Makna gagal secara luas, saya artikan sebagai bentuk tidak bisanya menciptakan suasana keluarga yang harmonis dan bahagia. Baik yang bertahan sekalipun menderita, atau barangkali yang berujung pada sebuah perpisahan atau perceraian.
Sejenak mari kenali apa penyebab utama kegagalannya, dan coba Anda cermati ulasannya. Logis kah?
1). Masih tingginya perningkahan dini di Indonesia.
Berdasarkan pengakuan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional(BBKBN), Fasli Jalal mengatakan bahwa saat ini terdapat pasangan muda yang berusia 15-19 tahun dengan prosentase 46%, sedangkan yang menikah dibawah usia 15 tahun terdapat sekitar 5%. (Sumber: www.trimbunnews.com)
Bayangkan saja, usia yang masih belia tersebut menikah. Secara fisik mereka siap menikah karena perkembangan reproduksinya sudah sempurna, akan tetapi secara psikologis mereka masih labil. Baik dari segi ekonomi atau mentalnya. Batas usia yang seperti ini masih tergolong belum dewasa sepenuhnya, tidak heran banyak pasangan muda sering melakukan perdebatan, masih banyak menggantungkan orang tuanya dan kurang mandiri, terkadang juga malah belum bisa membedakan antara statusnya sendiri antara sudah menikah dan belum menikah. Buktinya, sekalipun muda dan sudah menikah masih melakukan hura- hura dan sengaja melakukan apa saja yang seperti dilakukan oleh anak muda pada umumnya.
Suatu pemandangan yang menyedihkan, banyak pasangan muda yang menganggur/ tidak bekerja akibat kesulitan mendapatkan pekerjaan yang layak. Usia yang demikian, jika tanpa adanya ketrampilan dan ketangguhan dalam bekerja, maka kehidupannya akan semakin terpuruk. Jika masalah ekonomi dalam keluarganya tidak dapat dipenuhi, dengan mudah masalah yang lain akan datang. Terjadilah perdebatan yang jika kondisinya sangat parah akan menimbulkan perceraian.
** Pasangan muda harus kuat ekonomi dan mental.