Mohon tunggu...
Seneng Utami
Seneng Utami Mohon Tunggu... lainnya -

an ordinary woman

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Minggu Pertamaku, Pssst… Jadi Pembantu di Singapura

19 Mei 2015   01:27 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:50 5315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_418399" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi/Kompas.com"][/caption]

Sengaja aku nggak memasukkan cerita ini ke kanal fiksi karena ini adalah kisah nyata hidup aku. Sedangkan judul di atas, sama sekali aku merasa tak terbebani. Sebab bukan tentang rendah atau tingginya penilaian tentang kata “Pembantu”, namun yang penting, aku lebih menghargai bagaimana aku pernah melewati ujian hidupku yang kurasakan begitu sangat suliiiiiiiiiiit. Dari kejujuran aku yang akan bercerita tentang kisah nyataku ini, semoga bisa jadi teguran keras untuk diriku sendiri agar senantiasa bisa menghargai orang lain tanpa memandang status apa-apa. Toh, aku pernah mengalami hal yang seperti cerita berikut ini…

-

Singapura begitu menabjubkan dipandang mata, gedung-gedung yang tinggi berjajar ada yang sama tinggi dan ada yang lebih tinggi. “Inilah negara modern… Horeeee, aku benar-benar sudah sampai di Negeri Singa, yang kecil-kecil cabe rawit katanya. Biar wilayah negaranya kecil, tapi di sini orang dan negaranya maju. Aku harus bisa mencuri inspirasi sebanyak-banyaknya dari negara ini!”, bisik hatiku sewaktu aku melihat apartemen dan gedung penting di sepanjang jalan menuju Agency. Dalam diam aku tersenyum kemenangan. Sampai aku lupa diri bahwa sebenarnya kedatanganku sekedar untuk menjadi pembantu rumah tangga yang biasa. Hingga aku lupa, kecemasanku sendiri tentang siapa dan bagaimana kah nanti sosok majikanku yang sebenarnya. Galak kah mereka, aduuuh…pasrah deh pokoknya otak ini tak mampu lagi untuk menembus takdir Tuhan yang sangat rahasia.

Sepanjang perjalanan ke rumah Agency, dipikiranku sudah terbayang kembali dengan salah satu temanku bernama Rosita. Dia merupakan anak yang baik-baik dari keluarga yang baik-baik pula, tapi karena ayahnya mengalami kebangkrutan dalam usahanya ia sampai nekat mau kerja ke luar negeri. Rosita sudah satu bulan lebih dulu menginjakkan kaki di Singapura. Namun, nasib malang majikan yang telah memilihnya merasa kecewa dan mengembalikan Rosita ke Agency.

Rosita kena darah rendah! Sesampainya aku di Agency pada sore menjelang malam itu, aku langsung berpelukan dengan Rosita manakala aku sudah sampai di sana. Tanpa bisa mengatakan apa-apa, hanya pelukan dan tangisannya saja yang berbicara. Kusentuh lalu kugenggam tangan Rosita terasa dingin sekali. Raut wajahnya tak seriang dulu. “Ya Tuhan, seberat apakah menjadi seorang pembantu di negeri asing ini? Bagaimana jika aku akan bernasib sama dengan temanku ini. Oh, pasti aku tak sanggup jika tak Engkau kuatkan Tuhan.”

Hari satu, berlalu. Aku dan teman-teman, juga Rosita masih tidur dalam atap yang sama. Teringat, di dalam kamar itu ada semacam insect yang bisa buat kulit gatal. Sungguh tersiksa sekali, tidur tak pernah nyenyak. Setiap waktu makan tiba, dalam hatiku bosan harus makan dengan menu itu-itu saja. Aku sadar, bentuk rupaku utuh sebagai manusia, kenapa perlakuan dari orang lain semacam tak manusiawi. Selama di Agency, aku dan teman-teman makan nasi dan hanya berlauk sosis ditumis sama daun kol, kosongan. Huuuh, sekosong yang punya ide kasih makan kita-kita! Batinku, kalau pemilik Agency itu orang Indo, mungkin masih bisa toleran, tapi ini yang punya orang Malay yang lumayan alay. No choice, I try to be good girl and patiently.

Wah, hari kedua sore itu aku seneng banget. Aku lolos tes Bahasa Inggris  penyaringan “babu”  dengan lancar. Oh ya, dulu aku pernah dengar ada anak yang mau kerja di Singapura dan gara-gara nggak lulus ujian sampai tiga kali ia malah bunuh diri. Kasian sekali. Rasanya lolos seleksi jadi pembantu itu woooow banget. Sebelumnya aku sudah kenyang lihat orang dengan muka India, unyel-unyelan jadi satu sama anak Indonesia dan Filipina. Dalam pandangan mataku, aku merenungkan diri. “Jadi kenyataannya begini ya perdagangan manusia untuk manusia itu? Apakah sebenarnya harkat dan martabat manusia bisa di beli semacam ini. Jika iya, apa bedanya aku dengan seekor hewan yang sedang menunggu nasib untuk ditawar orang?” Sejenak hatiku sedih, hatiku memberontak, malu, merasa rendah, dan pasrah.

Sepulang dari test. Si Rosita kuingat dia akan pamitan untuk bekerja di majikan yang baru.

“Seneng, aku bahagia banget bisa ketemu kamu di sini. Kamu jangan sedih ya mikirin soal majikan. Mudah-mudahan kamu dapat majikan yang baik. Dan besok kalau kita sama-sama pulang Indo, aku berharap bisa main di rumah kamu. Maafkan aku ya, nggak bisa pamitan langsung, aku harus datang ke majikan baru. Dan ini sebagai kenang-kenangan tanda sayangku padamu. Aku berikan jam tanganku untukmu.”

Salam, Rosita.

Air mataku menetes tanpa henti, haru bercampur sedihhhhhhhh! Aku menemukan lipatan kertas dengan isi jam tangan berwarna hitam dengan ada emotion lidah dijulurin keluar alias mewek, tepat didalam buku yang sepaginya sudah Rosita pinjam. Aduhai teman seperjuanganku, semoga kau disehatkan dan dilancarkan dalam bekerja. Bertahan melakoni kisah di negeri yang serba misteri ini! Do’aku untuknya.

Keberangkatanku dari Bandara  Internasional Jogjakarta hingga turun di Bandara Batam, bebarengan dengan dua orang saja. Mungkin apa karena aku sendiri yang terkesan mungil, maka aku pun terpilih untuk digojlok duluan (bukan hamil duluan).

Suatu pagi sebelum aku ke rumah gojlokan.

Orang Malay itu memanggil anak baru satu-satu. Dan siapa saja dari kita yang dipanggil mesti harus lekas-lekas lari menuju arah yang memanggil. Dan tibalah pada giliranku.

“Seneeeeennnnnnnnnggggg…!”, suaranya menggelegar seperti ratu petir.

“Ya, Maaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaam!”, aku menjawab sambil lari pecicilan dengan suara lantang.

“Kamu nanti siang ke rumah orang, ajar kerja dulu di sana! Ngerti.”

“Ya, mam.” Jawabku singkat tak bergeming.

Aku bersiap-siap dengan menata beberapa pakaian secukupnya saja untuk datang ke rumah yang akan kujadikan sebagai latihan kerja.

-

“Kamu cantik, siapa namamu?” tanya Mam Diana sewaktu menjemput aku dan kita ngobrol di mobil.

“Seneng Utami, mam!” jawabku sambil senyum. Dalam hati mengira mam itu sedang menggombal, ah masak pembantu dikatai cantik.

“Nanti aku ajari kamu main piano ya kalau sampai di rumah” celotehnya.

“Yes, mam”

“Kamu bisa mijit aku, eh tapi kamu jangan bilang siapa-siapa pembantu itu tak boleh pijit-pijit majikan, hekhekhek…”

“Yes. Mam”

“Nanti aku akan mengajarimu kerja yang bener. Ok”

“Yes.mam”

Aku Cuma jawab yes mam-yes mam karena aku lebih menikmati sepanjang perjalanan sudut-sudut kota di Singapura yang begitu istimewa bagiku. Begitu terheran-herannya aku pas mobilnya melewati sebuah terowongan jalan yang hanya ada tiga dinding saja. Entah apa itu namanya! Sepertinya aku belum pernah menemukan di Indonesia.

Sopir mobil itu ternyata anak mam Diana. Anak mam itu ada dua, satunya menjadi Lawyer dan satunya lagi jadi dokter bedah. Suaminya sebagai office di bandara. Sedangkan mam Diana sendiri sebagai guru Piano.

“Let’s we eat first before we go home”

“Yes, mam”

“What do you want to eat Seneng?”

“Noodle please, mam!” sok  enggris saja nih saya! Lumayan, kemarin sudah eneg makan nasi sosis dan daun kol terus. Eh, sekarang dapat durian jatuh makan di resto.

“Kamu tenang saja, pokoknya anggap saja kita keluargamu sendiri yah” mam Diana menenagkan hatiku.

Sesampai di rumahnya, di jalan X, sebuah condominium X, di lantai X. Waaaahhhhhhhhh, ini rumah apa istana. Bersiiiih. Mewaaaah. Semuanya tertata dan terlihat rapi. Mana debunya? Kok pada ngumpet semua. Sofa ituuuu, cantik dengan motif bunga pink kecil-kecil. Banyak photo-photo, waduh kog beda banget sama rumahku, photonya nggak ada di dinding sama sekali. TV-nya gedhe abisss. Uh, ada balkon. Semuanya serba modern. Itu kulkas kok bisa lebih gedhe daripada aku?

“Seneeeeeeeeeeng, coming I will tell you how to wash the cloths!”

Weleh, aku lagi asyik mau istirahat bentar sambil menaruh gombal-gombal yang sudah saya bawa dari Agency tadi lhoh.

Bergegas aku lari menuju toilet.

Baru tiba di sana saja, aku sudah (motifnya) disuruh bukan diajari kali. Untuk mencuci baju. Ada ember sebanyak lebih dari sepuluh biji untuk baju yang berbeda-beda. Ember kecil buat pakaian yang kecil seperti CD. Yang besar untuk celana jeans atau baju yang besar. Di bilas setiap baju sampai hilang benar busanya. Alamaaaaaaaaaaaaak. Ini tangan sampai juga kering rasanya meres baju sampai nggak menetes air samasekali. Ini orang bener-bener yah. Kulihat mam itu mendadak sadis saat kupandangi ada tusuk gigi di katup mulutnya, mengarah serong di kiri. Untung itu bukan rokok, kalau saja rokok mungkin sedikit berkesan seperti perempuan bajingan. Pikirku. Ya, suka-suka deh namanya juga pikir di dalam hati.

Sudah diperas semua lalu baju itu dikeringkan lagi dengan mesin cuci. Di jemur dengan bambu-bambu melalui jendela. Tambahan, sudah banyak TKW yang mati gara-gara kecelakaan kerja menjemur baju. Sederhananya kita bisa membayangkan kalau saja bamboo yang diluar jendela terasa lebih berat dari orang yang didalam maka orang itu akan terbawa keluar dan jatuh. Ampuuuun deh. Biasanya itu, kalau ada yang menjemur kain berat seperti selimut atau kain yang terlalu buanyaak muatannya.

Seusai itu, dalam keadaan capek aku di suruh mengepel lantai.

“Pertama kamu harus mengepel lantai dengan air yang ada super pel-nya, lalu kamu harus membilas dengan air saja. Dan yang terakhir, kamu harus mengeringkan dengan kain saja hingga lantai benar-benar kering dan bersih.”

Nggak ada kata lain selain, “Yes, mam”.

Capek Deh!

Dalam keadaan lelah, aku berusaha untuk kuat. Lantai putih itu seolah haha-hihi dengan helaian helaian rambut yang sudah berguguran jatuh di sana-sini. Membuatku jadi berkali-kali membilas air. Aku sempat menangis. Aku lapar lagiiiiiii. Aku pengen istirahat. Daripada sengsara begini, kenapa aku nggak memilih menganggur saja? Biar ortu yang cari uang dan memberi makan aku.

Huah-huaaah-huah. Condominium itu lumayan luas. Sampai ngos-ngosan aku mengepel lantainya. Malah disuruh ngepel tiga kali lagi.

Sudah selesai. OK. aku mandi dulu!

“You so beautyfull, I like your eyesbrow!” Gombal lagi nih si mam.

“Before you sleep, you need to iron the cloths. Just little bit. OK!”

Mataku sudah kurang dari 5 Watt. Tubuhku sudah lemas. Jam dinding menunjukkan jam setengah dua belas malam. Mamnya asyik nonton TV. Sambil nunggu di pijit kalau aku sudah selesai menyeltika baju.

Aku lalu memijitnya dengan sebauh balsam. Dia merasa senang, katanya aku bakat memijit. Tak lama kemudian setelah itu aku di suruh untuk tidur. Sudah di wanti-wanti untuk bangun pagi jam enam.

Dalam keadaan sangat lelah, otak dan raga. Apakah aku bisa langsung tidur nyenyak?

Di sebuah gudang ruangan yang  penuh dengan barang-barang ini-itu. Aku merasa selayaknya barang yang disimpan itu juga, yang hanya akan digunakan jika dibutuhkan. Hatiku menagis tersedu-sedan. Kulihat udara luar lewat jendela malam. Di atas awan ada sejuta gemerlip bintang. Dan bulan! Kulihat dan perhatikan, gedung-gedung megah dan mewah berjajaran. Aku sungguh menginginkan sebuah perubahan yang demikian. Biar aku hanya sebagai pembantu yang dipandang sebelah mata, tapi tidak untuk jiwaku! Suatu hari nanti, pikiran dan jiwaku  harus bisa setara dengan majikan sekalipun aku tak tahu entah bagaimana caranya itu! Aku tersiksa menjadi pembantu begini, meski masih sehari dan aku belum dicoba apa-apa yang mungkin lebih parah lagi dari ini. Apa lebih baik aku mati bunuh diri? Tidak! Aku masih punya orang tua dan Tuhan, aku masih punya masa depan. Tentang cowok yang sudah menyakiti aku dengan sembarangan, menambah perih dan tercabik-cabik sudah hatiku ini.Tapi, tetap aku harus kuat. Kalau bisa aku harus bisa jadi perempuan cerdas…(kalau bisa, kalau enggak ya nggak usah dipaksain kali).

Di sini aku sedang memulai sebuah perjuangan, di sini aku akan menaklukan teka-teki kehidupan. Di sini aku berlabuh mengungkap kebohongan-kebohongan manusia, dalam seribu cerita dan kisah yang akan kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri. Dalam keadaan terbaring lemah, mataku terus menguraikan air mata tanpa sanggup aku membendungnya. Aku lupa tentang kenapa negeriku begitu rendah, membiarkan aku berada di sini sebagai pembantu…

"Yang aku ingat hanya, ini sudah jadi pilihan dan keputusan hidupku!"



Jakarta, 19 Mei

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun