Mohon tunggu...
Seneng Utami
Seneng Utami Mohon Tunggu... lainnya -

an ordinary woman

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kisah Perempuan-perempuan Tersembunyi di Jakarta

2 Mei 2015   05:07 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:28 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14321250601757359695

[caption id="attachment_418891" align="aligncenter" width="560" caption="Ilustrasi - PSK (Kompas.com)"][/caption]

Pagi kemarin saya sempat naik kereta api dari Stasiun Tanah Abang menuju arah Serpong (jelas ya), yang saya ingat sebelum naik tangga stasiun tersebut saya sempat merenung kenapa ya, di tengah Kota Jakarta ini masih ada ibu-ibu yang mau berjualan gendar pecel (makanan khas asal saya Semarang, yang biasanya hanya ada di desa). Saya percaya, ibu tersebut berjualan dengan sukacita. Bahagianya ketika saya melewati Stasiun Kebayoran. Kini nama Kebayoran bukan sekedar judul sebuah novel karya Nh. Dhini saja melainkan sudah saya lihat langsung di depan mata saya.

Kepergian saya bukan untuk mengikuti sebuah acara May Day, atau Hari Buruh tapi sekedar iseng saja untuk main di rumah teman. Kebetulan teman saya itu bekerja sebagai guru privat dan saya diajak untuk ikut ke rumah yang ingin dia ajar. Saya pun akhirnya ikut masuk ke dalam rumah anak yang akan dibimbing secara privat itu. Rumahnya terkesan mewah, dan kebetulan sekali ortu anak tersebut dua-duanya sedang bekerja di kantor. Kesempatan ini membuat saya bisa ngobrol sejenak dengan bibi yang bekerja di rumah itu dengan leluasa.

Kami pun ngobrol bareng, saya memperhatikan bibi itu sedang menyuapi anak asuhnya yang berusia empat tahun. Membuat saya terhenyak teringat akan masa lalu saya selama bekerja mengasuh anak dulu di Hong Kong. Ada kesedihan di dalam hati saya membayangkan bibi itu harus mengurus semua pekerjaan rumah semegah itu. Mungkin bibi itu harus bekerja dari pagi hingga malam, mengurus anak-anak dan membereskan rumah. Dia mengatakan bahwa aslinya dari Wonosobo, daerah yang tak jauh dengan Semarang. Ia  mengaku punya anak satu dan sudah punya cucu, dan sudah tidak menjadi satu lagi dengan suaminya. Bisik hati saya bilang kalau ibu satu itu hebat, kenapa? Lama bekerjanya ibu itu diperkirakan ada sekitar lebih dari 13 tahun hanya dengan satu majikan itu saja! Dulunya dalam sebulan ibu itu bisa libur sebulan satu kali lalu ia gunakan waktu liburnya untuk arisan, pulang kampung dua kali dalam setahun kadang naik bus, dan kadang pula naik kereta. Tapi, karena saat ini majikan sibuk bekerja terus, jadinya dalam sebulan kini dilaluinya tanpa libur.

13 tahun bukanlah waktu yang singkat, melainkan waktu yang dilalui dengan melawan rasa bosan sangat tangguh banget. Saya menduga, sebenarnya motivasi apa yang menjadikan ibu itu betah bekerja bertahun-tahun di tempat itu hingga majikan tersebut sempat pindah rumah selama lima kali? Ataukah sudah pisahnya ia dengan suaminya? Apa mungkin tidak ada pilihan lain kecuali bekerja menjadi pengasuh anak untuk orang lain, serupa saya dulu…Saat pamit pulang, dalam hati saya hanya mampu berdo’a untuk ibu itu semoga diberikan kekuatan dan kesabaran dalam bekerjanya.

Sepulangnya, saya kembali naik kereta api menuju arah Stasiun Tanah Abang. Dalam perjalanan, saya tersadar kalau selama ini saya sudah jarang sekali naik angkot Kopaja. Dan satu yang sering saya temui ketika saya naik Kopaja yaitu pengamen. Pada umumnya pengamen itu laki-laki yang sudah dewasa. Dan betapa shock-nya saya kala itu sewaktu pertama kali melihat anak-anak perempuan yang masih berusia delapan hingga sembilan tahunan menjadi pengamen di bus Kopaja. Terngiang samar-samar suara anak perempuan kecil itu dengan penuh percaya diri. Perasaan saya terhadap mereka hanya kasian tanpa bisa berbuat apa-apa. Saya berpikir, sewaktu anak-anak saja mereka sudah larut dalam kehidupan yang tak pasti di jalanan dengan keringatnya sendiri. Mana mereka tahu reputasi? Pendidikan? Ke depan jika mereka sudah beranjak dewasa, yang saya takutkan jika mereka berpacaran dengan anak laki-laki jalanan pula yang terbiasa hidup bebas. Semoga mereka tidak terjerumus pada dunia seks bebas.

Semakin gila lagi ketika teringat dunia pengamen yaitu, ketika saya menjumpai ibu muda yang ngamen sambil menggendong anaknya yang masih balita. Tega-teganya ibu muda itu sengaja menjadikan anaknya sebagai senjata di mata orang banyak demi sesuap nasi.

Pernah saya melihat di jalan raya tentang baligo yang mengajak masyarakat untuk mau menyalurkan uangnya demi bisa membantu nasib anak-anak yang kurang mampu termasuk anak-anak yang mengamen di jalanan. Namun sepertinya, baligo hanyalah sekedar baligo.

Suatu hari saat sore-sore dengan berguyurkan air hujan yang lumayan deras, saya pernah berteduh di jalan halte bus Transjakarta. Melihat anak berusia balita sudah pandai mengemis, rasanya gemes sekali jadi pengen jitak kepala ibunya. Oh ya, malah ada ibu-ibu yang sengaja membawa anaknya untuk sama-sama bareng tidur di sebuah tangga halte bus TransJakarta dengan harapan ada orang yang mengasihaninya. Di manakah logika sehat ibu tersebut? Tidur di jalan terbuka sudah pasti dingin.

Sepanjang jalan dengan lamunan yang bermacam itu, tak terasa saya telah tiba di Stasiun Tanah Abang kira-kira pukul sembilan malam. Aduhai, jaman semakin panas karena ada perempuan-perempuan berpenampilan panassss….

Because no choice, that’s way I doing this:  for money, for fun, for myself and for my life! Apakah kata-kata tersebut yang mendorong mereka mau bekerja seperti itu? Berbeda hari tentunya akan berbeda pelanggan. Beda pelanggan kemungkinan mereka juga akan menjumpai kondisi pelanggan yang belum tentu FIT dengan kesehatannya!

Tentunya ini bukan permainan. Berapa banyak jumlah perempuan kita yang meninggal akibat risiko besar bekerja di luar negeri? Berapa jumlah perempuan kita yang mengalami kekerasan rumah tangga dalam satu harinya?

Kecantikan asli perempuan terpancar alami hanya dari hati, tak perlu menjadi perempuan yang sempurna asalkan bisa jadi perempuan yang kenal etika. Tak usah jadi perempuan yang kaya materi, cukup hindari pekerjaan yang dipandang tak terpuji. Bagaimana bisa jika itu sudah menjadi sebuah mata pencaharian? Emang di Indonesia ini kurang lapangan kerja apa ya… khususnya buat perempuan. Emang di Indonesia ini perempuannya masih banyak yang kurang berketerampilan kali ya, nggak heran kalau masih ada banyak perempuan yang nasibnya terlantar…

#Semangat jadi perempuan, menunggu bantuan pemerintah itu bagaikan menunggu ketidakpastian. Jadi, menjadi perempuan tangguh dengan segala latar belakang apa pun yang kita miliki, hendaknya terlahir dari dasar hati sanubari kita sendiri. Yakini kita pasti bisa menjaga martabat diri!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun