Sholat dan ibadah ritual saat ini menjadi perbincangan publik baik dari sisi substansi maupun dari sisi simbolisasi. Muncul pertanyaan, apakah sholat telah berdampak pada perbuatan kita agar kita tidak berbuat keji dan munkar? atau hanya sekedar identiti dan gerakan belaka?Â
Sejauh ini sholat tak menjamin ada perubahan dalam sikap bagi yang melakukannya. Sholat jalan terus, korupsi jalan terus begitu yang terjadi. Sulit menghubungkan sholat dengan perubahan akhlak, keduanya cenderung terputus, jalan masing-masing.
Banyak orang meletakkan sholat sebagai pondasi agama. Bukan lagi akidah (iman kepada Allah) sebagai dasarnya. Kita lupa kalau sholat itu sekedar tiang saja. Baik atau buruk kepribadian kita tetap wajib sholat begitu seruan pemuka agama. Sholat itu mutlak, korupsi, melacur tak masalah. Sholat belakangan hanya menjadi identitas pribadi, menjadi penanda kelompok atau agama, tak berdampak pada akhlak terpuji.Â
Dari siapa konsep seperti ini tak jelas dasarnya. Yang pasti ini menjadi menggejala dalam pergaulan kita. Para pihak mengkampanyekan wajib sholat, buka puasa bersama, paket ibadah umroh dan haji plus, smpai jilbab sebagai gaya hidup (lifestyle). Sama sekali tidak ada yang salah, hanya kita sayangkan tak ada 'buahnya'. Ibarat pohon hanya batang saja yang kelihatan, tak bisa dinikmati manusia, sekedar untuk dilihat saja.
Masyarakat Menikmati Buahnya
Apakah ini yang dikatakan sesat pikir? Mengapa kita menuhankan simbol, bukan menuhankan Tuhan Pemilik Langit & Bumi? Masyarakat tidak menikmati gerakan sholat, atau ibadah apapun yang kita buat. Masyarakat menikmati perbuatan yang mulia nan luhur dari kita.Â
Orang miskin menikmati kesejahteraan dari orang yang tidak tamak, rakus dan selalu menolong. Orang miskin semakin ditindas oleh orang rakus (koruptor). Masyarakat butuh orang yang berbuat untuk mereka, bukan orang yang ahli ibadah tapi tak bisa berbuat mulia.
Ada ungkapan begini, iman tanpa ilmu sesat, ilmu tanpa iman jahat. Seribu tahun sholat kalau tak punya ilmu tak ada gunanya, tak ada manfaatnya. Seribu tahun berbuat kalau tak sesuai dengan kehendak Tuhan pasti yang terjadi kerusakan. Keduanya bukan pilihan kita, bukan juga tuntunan dari Nabi. Kita butuh ibadah yang substantif yang melahirkan perbuatan, akhlak mulia.
Baik Tapi Kafir, bagaimana?
Pertanyaan ini belakangan selalu muncul. Kita disuruh milih, orang baik tapi kafir atau seagama tapi jahat. Masyarakat digiring untuk percaya bahwa seagama meski jahat itu pilihan terbaik. Sejumlah dalil naqli atau aqli turut disertakan. Jujur, mestinya tidak ada pilihan, tak usah memilih. Mana ada pilihan kalau keduanya buruk. Itu bukan hukum pilihan tapi itu hukum pemaksaan. Mana ada orang beriman bejat bin jahat? Kalau jahat berarti tidak beriman, tidak bertuhan. Kalau beriman tapi jahat berarti dia orang munafik. Lain dibibir lain dibuat. Tuhan sangat-sangat membenci orang munafik. Demi kepentingan dunia sekarang banyak orang memaksa rakyat menjadi munafik dengan berbagai sandaran ayat.
Sekarang masalahnya, mengapa kita tidak bisa menghasilkan produk orang beriman yang berakhlak mulia? Mengapa kita kesulitan membentuk masyarakat yang hanya taat pada Tuhan semata tidak mempertuhankan dunia materi? Kita tak punya produk manusia unggulan, meski kita ceramah setiap hari tak berhenti. Kita enggan berkaca diri adakah yang salah dengan jalan kita selama ini? Mengapa yang kita ingat selalu materi?Â