Bagi orang yang mau belajar mestinya gembira dengan keberadaan Gubernur DKI Ahok, yang beretnis Tionghoa/China dan beragama Kristen. Dengan latar agama dan etnis yang minoritas ditengah masyarakat yang beragama Islam mayoritas dan pribumi, Ahok mestinya bisa menjadi refleksi tentang keberadaan agama mayoritas di tengah masyarakat ibukota saat ini. Dengan dipimpin oleh etnis asing dan agama minoritas, pasti penganut agama mayoritas dan etnis pribumi punya masalah yang besar.
Namun sayang sungguh malang, sudah umum dan sejak lama terjadi di dalam perjalanan sejarah kalangan Islam di Indonesia, ada begitu banyak kejadian dan peristiwa haru-biru yang tidak pernah menjadi pelajaran yang berharga. Selalu saja ummat dan ulamanya jatuh terjerambab pada lobang masalah yang sama, dimana keduanya lebih parah dari seekor keledai sekalipun.
Satu fakta yang jelas terlihat adalah terkait masalah kepemimpinan nasional maupun daerah. Lapuknya Islam di Indonesia jelas dapat dilihat dari sisi kaderisasi kepemimpinan nasional hingga daerah. Fakta, bila ormas-ormas Islam tak punya kemampuan dalam menghadirkan dan melahirkan sosok pemimpin yang terpuji, mulia, dan berguna bagi rakyat bahkan ‘digandrungi’ atau ‘dielukan’. Kalangan ormas Islam paling banter hanya melahirkan jurkam ataupun pengumpul suara dari partai politik yang sama sekali tidak mencerminkan nilai-nilai Islami meski bersimbol Islami.
Ormas Islam hampir semuanya hanya ‘digunakan’ dan ‘dipakai’ oleh partai politik ataupun politisi ataupun pejabat kapan mereka perlu. Teringat dulu ada istilah ‘KAPERLEK’ singkatan dari kalimat ‘kapan perlu dipake’. Para ulama memang ’dipakai’ karena satu alasan yaitu kemampuan retorika menggunakan ayat-ayat suci alquran belaka. Gunanya  apalagi kalau tidak untuk membelokkan suara pemilih, untuk mendoakan si-pemesan di hadapan halayak, menutupi keburukan sipemakai, dan berbagai kebutuhan sesuai dengan kepentingannya.
Hasilnya, meskipun dalam Pilkada suatu Provinsi/ Kab/Kota yang terpilih pemimpin yang beragama Islam, namun dalam praktek kerja nyatanya jelas-jelas jauh dari syariat Islam yang sebelumnya dikampanyekan. Banyak calon tak punya kemampuan dalam membangun dan mensejahterakan rakyat bahkan lebih bisa disebut sebagai ‘garong dan ganyang rakyat’.
Bahkan banyak sekali ‘orang cacat’ baik mental dan moral terpilih, tidak terkira berapa banyak kaum ‘ninja’ yang terpilih dalam pilkada semua atas bantuan juru kampanye yang berbumbu agama. Faktanya, bahkan setelah terpilih tidak sedikit yang berakhir mengenaskan menjadi terpidana di penjara dan tersungkur karena perbuatan asusila lainnya. Lihat laporan Kemendagri dan KPK tentang Kepala daeraj terjerat pidana di beberapa kasus di kota-kota besar seperti Provinsi Riau, Sumatera Utara (Kota Medan), dll.
Tanpa Pemimpin
Sebagai contoh, jika kita berandai-andai, bukan Ahok sebagai Gubernur DKI, lantas siapakah sosok calon beragama Islam yang mesti dipilih diantara Anis dan Agus? Untuk memilihnya, pasti perang wacana dan ayat pasti akan pecah kembali. Belum lagi kalau dikaji siapakah sesungguhnya pemimpin Islam di Indonesia, SBY atau Prabowo atau siapa? Wah...lebih dalam lagi masalahnya. Belum lagi kalau kita persoalkan kesatuan pemeluk Islam di Indonesia, masalah akan semakin lebih rumit lagi.
Intinya kalau mau kita simpulkan kondisi ummat Islam di Indonesia, faktanya ummat Islam tidak punya pemimpin (politik), tidak ada kesatuan (terkotak-kotak pada ormas-ormas yang berbeda-beda), tidak melahirkan kader-kader yang kredible dan tentu saja tidak memiliki basis massa yang kuat. Benar ada pengajian-pengajian kampung ke kampung yang di lakukan para pemuka agama. Namun semua itu hanya berlalu begitu saja, tidak ada perilaku masyarakat yang berubah karena ceramah bahkan semakin parah.
Semakin ikut pengajian kondisi bangsa semakin terpuruk. Terbukti masyarakat agama (semua agama) tidak mampu mencegah kerusakan yang merusak diri mereka sendiri. Masyarakat agama tidak mampu mencegah meluasnya peredaran narkoba, miras, seks bebas dikalangan remaja, kemiskinan, dan penyakit moral lainnya. Semuanya dalam konteks agama hanya berakhir dengan ceramah tanpa aksi yang konkrit yang dapat dikawal perubahannya. Semuanya berfikir hendak instan, hari ini ceramah besok ummat berubah menjadi mulia.
Pemimpin ummat Islam di Indonesia jelas tidak ada sama sekali. Pemimpin dalam partai politik Islam tentu saja banyak. Pemimpin dalam mejelis ulama tentu saja ada. Pemimpin pada ormas Islam juga banyak. Namun mereka bukan pemimpin ummat. Mereka bahkan tak punya kemampuan menyatukan diri mereka sendiri. mereka punya mazhab, kelompok, dan pemahaman yang berbeda-beda.