Mohon tunggu...
Rolip Saptamaji
Rolip Saptamaji Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Seorang toekang toelis jang dilepas dan toekang loekis jang terlepas ini kini mengambil djalan soenyi sebage toekang kritik jang memboeat gerah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Biar Maya Bercerita

7 Agustus 2012   21:08 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:07 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Serpihan ingatan yang diminta diulang dalam tulisan, rangkaian cerita hiperrealitas ini adalah bagian dari ingatan tentang kecemasan dari pojok gelap penantian. ingatan yang membawa kembali sebuah cerita ketika rasio tak dapat membendung rasa. biar Maya yang bercerita...

.................................................................................................

Malam ini hanya angin yang bersautan, tak ada langkah kaki tak ada tawa bahkan alunan music klasik pun lenyap dari kamar Maya. Hujan tak turun malam ini tak seperti malam-malam sebelumnya, hujan selalu turun saat matahari terbenam. Kota Kembang ini semakin dingin jika hujan tak jadi turun karena air berubah menjadi embun yang diterbangkan angin. Dingin memang menjadi bagian dari kota ini namun kali ini dingin membuat Maya semakin gelisah.

Maya menarik nafasnya dalam-dalam mengisi rongga parunya dengan asap nikotin rokok putih yang cepat terbakar, asap pun mengepul memenuhi ruang. Tak ada orang disini hanya Maya yang gelisah menunggu Jaya yang tak juga datang, Ia janji malam ini akan datang. Sejak pagi ia mencari Jaya di Kampus, sanggar, bahkan warung kopi tempat jaya biasa ngutang. Sudah dua hari Jaya seakan hilang disapu angin, dua hari pula Maya mencarinya. Baru kali ini Maya sangat marah pada Jaya, biasanya Jaya selalu menepati Janji. Meskipun terkesan urakan Jaya orang yang baik, ia selalu bisa dipercaya.

“Kemana Jaya? tak bisa dipercaya,” gumam Maya sambil menancapkan wood cutternya ke meja.

….............................................................................................................

Sudah Jam sebelas malam, perjalanan tinggal sepeminuman the tapi apa Maya tidak akan marah kalu aku baru datang jam segini? Tak apalah, berita ini sangat penting tak bisa ditunda lagi Maya harus tahu secepatnya.

Motor Jaya berlari kencang menerjang angin timur Kota Kembang yang sepi. Perjalanannya dari selatan Kota Lama cukup melelahkan namun kewajiban tetaplah kewajiban, tugas harus selesai. Jaya membawa kabar dari Timur Jawa tentang sahabatnya yang kini tak tentu rimbanya. Kabar memang lambat ia dapatkan setelah satu minggu mencari kabar mengenai sahabatnya, menemui semua orang yang berkaitan dengan sahabatnya baru malam ini ia mendapat kabar tentang sahabatnya dari seorang organizer buruh di selatan kota kembang.

…..............................................................................................................

Kling,.. kling,..

Lonceng pagar rumah kontrakan Maya berbunyi, pertanda ada orang datang. Maya mengintip dari sela gordyn jendelanya,

“ah.. akhirnya yang ditunggu datang juga…” ujar Maya melihat Jaya di depan pagar mendorong motornya masuk ke halaman. Maya yang sejak tadi belum juga tertidur lantas membuka pintu rumahnya sambil membawa dua gelas kopi pahit untuknya dan Jaya.

“darimana saja kamu? Aku sudah menunggmu sejak dua hari lalu”

“maaf May, aku baru dapat kabar malam ini, aku juga tak punya pulsa untuk mengabarimu”

“lantas apa kabar yang kamu dapat? Dimana dia sekarang? Kenapa menghilang?”

“sabar May, nanti kuceritakan aku istirahat sebentar… aku dari Kota lama ”

“Kota lama? Jauh sekali, kenapa kamu kesana?... ah sudahlah duduk saja dulu, ini kopimu aku kedalam sebentar”

Jaya duduk di lantai beranda rumah Maya meluruskan kakinya yang pegal setelah seharian mengendarai motor, sudut matanya terus mencuri Maya.

Jaya sebenarnya mengagumi Maya, kecuali dia adalah kekasih sahabatnya menurutnya Maya adalah gadis yang sangat menarik. Senyumnya yang manis dan rambut panjangnya yang lembut selalu mengambang dalam lamunan Jaya. Meski berpenampilan sederhana bahkan sedikit urakan Maya tetap manis, dibalik flannel coklat favoritnya Maya menyembunyikan kulitnya yang halus. Lekuk tubuhnya pun sangat menarik, balutan jeans ketat yang dihiasi noda cat lukis selalu menjadi perhatian Jaya.

Bodoh sekali Karsa, meninggalkan perempuan secantik ini demi utopia revolusi yang mustahil pecah dimasa damai seperti ini. Ah… kalau saja malam itu tak kukenalkan dengan Karsa, andai saja aku tidak pengecut mungkin sekarang Maya tak menunggu Karsa tapi menemaniku membuat lukisan yang indah. Heran,.. apa yang Maya lihat dari lelaki seperti Karsa, tapi sudahlah lagipula Karsa sahabatku.

Setiap kali ketertarikannya pada Maya muncul, Jaya terus menahan dirinya mengulang-ulang sugesti yang sama.

“Jadi bagaimana ceritanya? Ayo.. aku ingin dengar”

Maya datang menghampiri Jaya, rambutnya yang panjang diikat seperti sanggul dijepit dua buah kuas. Lehernya yang jenjang dan putih bersih menambah daya tariknya. Jaya merekam pemandangan ini dalam ingatannya sekali kedipan mata.

“Ayo mulai ceritanya aku ingin dengar kabar Karsa…” Maya membuyarkan ingatan Jaya

“Baiklah, aku mendapat kabar dari Imron, pimpinan Serikat Buruh di Kota Lama, sebelum berangkat Karsa datang padanya katanya ia akan ke Timur Jawa menghampiri kontaknya yang juga pimpinan Serikat Buruh di Timur Jawa. Sebelumnya aku sudah menemui Tunggal di Kampusnya, Tunggal tidak tahu kemana Karsa sudah sebulan menghilang katanya”

“iya, memang sudah 43 hari Karsa menghilang,… ada apa di Timur Jawa? Kenapa Tunggal tidak tahu, bukannya Karsa selalu bersama Tunggal?”

“aku juga sudah menghampiri secretariat organisasinya, aku ketemu Yoni disana, Ia bilang Karsa pergi tanpa sepengetahuan organisasinya itulah kenapa Tunggal tidak tahu kemana Karsa. Tapi sebenarnya aku belum selesai soal Imron tadi…”

“Memangnya ada kabar apalagi dari Imron?”

“Tapi…”

“Tapi kenapa?... ceritakan saja sampai tuntas”

“Kamu Janji tidak akan marah padaku May?”

“Ah,.. kenapa aku harus marah padamu? Ceritakan saja”

“Baiklah,.. Imron bilang setelah kerusuhan demonstrasi buruh di pabrik tembakau Karsa menghilang, tidak ada satupun yang mau bicara dimana Karsa. Menurut Imron kemungkinan Karsa diculik, entahlah sekarang bagaimana kabarnya sudah satu minggu berita itu didengar Imron”

“Hah, diculik? Diculik siapa? Memangnya masih ada cara seperti itu? Jay setahuku semenjak Diktator negara ini jatuh sudah tidak ada culik menculik! Kalian ini aneh! Imron pasti melebih-lebihkan”

“entahlah, mungkin saja Imron berlebihan atau mungkin saja ia benar yang jelas hingga saat ini belum ada yang tahu Karsa ada dimana pastinya.”

“lantas kau tak menghubungi Tunggal setelah mendapat kabar dari Imron? Kenapa Imron tidak mengabari yang lain?”

“kau tak kenal Imron May? Dia tidak berasal dari organisasi yang sama dengan Karsa dan Tunggal, tidak mungkin ia mengabari organisasi Karsa”

“lalu, apa kau mengabari Tunggal?”

“tidak May, aku sudah mencoba menghubungi Tunggal lewat telepon Imron, tidka diangkat. Tapi aku berhasil menghubungi Mardi pimpinan organisasinya Karsa.”

“lantas apa kata Mardi?”

“Mardi bilang itu tanggung jawab Karsa, dia memang suka main sendiri, kerajinan tangan, kalo dalam istilah organisasinya, kalaupun Karsa tertangkap atau memang benar diculik itu menjadi kesalahannya yang tidak berkoordinasi dan itu diluar tanggung jawab organisasi katanya”

“Gila! Mana bisa organisasi lepas tanggung jawab begitu saja?”

“Bukan lepas tanggung jawab May! Kamu harusnya mengerti itu resiko yang sudah diambil Karsa, pasti dia punya alasan untuk itu”

“Ah! Karsa memang sudah Gila! Dia Cuma memikirkan dirinya dan ambisinya sendiri lantas aku dianggap apa? Organisasinya pun sama gilanya!”

“Sudahlah May, lebih baik aku pulang malam sudah larut besok saja kita lanjutkan di Kampus”

“Jay! Pokoknya besok kamu harus tau dimana Karsa sekarang, kalau dia di Timur Jawa biar aku menyusulnya sendiri”

“Darimana aku tau Karsa dimana?”

“Ya Tanya Imron!”

“Ya.. ya.. besok aku kabari lagi, aku pulang dulu May”

Jaya pulang meninggalkan Maya sendiri di kontrakannya dengan kekalutan, marah bercampur cemas. Maya sadar betul resiko yang ia tanggung ketika ia memutuskan untuk memilih Karsa sebagai pasangannya. Kini yang ia takutkan akhirnya terjadi, Karsa menghilang entah kemana rimbanya. Tapi resiko tetaplah resiko tak ada urusan dengan rasa, rindu, cemas dan kalut membuatnya meninggalkan semua rasio yang ia pegang. Saat ini Karsa lebih penting baginya, baik atau buruk tetap ditentukan oleh bukti bukan dugaan.

……...........................................................................................................

Kriiiing…..Kriiiing….

Handphone Maya berdering di pagi buta, Rupanya Jaya yang menelponnya

“May, aku dapat kabar dari Imron! Sekarang Karsa ada di lereng Merapi, kau berangkatlah kesana malam ini supaya siang kau sudah sampai di Kota Pelajar. Hubungi Ayu dia pengacara Karsa, mungkin Karsa dalam kesulitan”

“…hah? Ya, Ayu dimana? Mana nomor teleponnya”

“Nanti kukirim lewat SMS, Ayu di Kota Pelajar biar dia yang mengantarmu”

“Iya kalau begitu biar aku bersiap siang ini lebih cepat lebih baik.. terima kasih Jay”

Tuuuuuuuuuuut ……

Maya menutup telepon Jaya dan segera bangun dari tidurnya yang tak pulas. Pagi hari ia habiskan untuk menghubungi teman-temannya di Kota Pelajar, sebagian teman Karsa pun ikut dihubunginya. Siangnya ia menghubungi travel agent untuk memesan tiket ke Kota Pelajar, tidak begitu sulit karena hari ini bukan hari libur. Maya mendapatkan tiket untuk berangkat pukul 7 malam dari Kota kembang, segera ia siapkan barang bawaaan secukupnya.

Persiapan yang sudah begitu matang tiba-tiba buyar oleh berita dari Ayu di sore hari. Menurutnya, Karsa tak berada di Kota Pelajar ataupun di Merapi. Ayu membenarkan bahwa Karsa sempat diketahui berada di Timur Jawa dan hilang di Kota Kuno dalam perjalanannya menuju Kota Pelajar. Ayu sendiri sudah menghubungi semua teman Karsa di Kota Pelajar namun tak ada yang mengetahui dimana Karsa.

Mendengar itu Maya terdiam, semua rasa kembali bercampur dalam dadanya namun kini air mata sudah pecah merembes dari matanya yang bulat. Maya tak lagi mampu menahan tangisnya, di alam fikirannya Karsa sudah habis dicabik serigala. Entah pada siapa ia bisa mengadu menjajarkan kesedihan dan kecemasannya. Maya terlalu kalut untuk bersuara, terlalu bingung untuk berbicara hanya diam dan ingatan yang mampu menemaninya, ingatan tentang Karsa.

………........................................................................................................

Kontrakan Maya kembali sunyi malam ini, ransel yang ia siapkan masih tergeletak di depan pintu yang dibiarkan terbuka. Maya duduk diam di menghadap kanvas kosong diruang tengah, gumpalan asap rokok terus keluar dari mulutnya. Biarlah malam ini berlalu tanpa suara pikirnya, travel agent, ayu dan Jaya sejak tadi terus menghubunginya namun tak satupun yang ia perdulikan. Maya larut dalam ingatannya mencoba menarik-narik Karsa dari ketiadaan untuk menemaninya.

Kling… Kling…

Lonceng pagar berbunyi, Maya tak menoleh ia masih terjebak dalam lamunannya.

“May, Aku pulang,…”

Suara Karsa memecah lamunan Maya. Maya bangkit dari tempat duduk seakan tak percaya.

“Ah… ini Cuma ilusiku, mungkinkah itu benar suara Karsa?”

“Maya….”

“Itu Karsa! Dia disini…” Maya langsung tersentak dari lamunannya berlari ke pintu depan.

Seakan tak percaya ia melihat Karsa dihadapannya, lelakinya yang menghilang tak tentu rimbanya sebulan ini. Semua kabar tetangnya seakan menuju satu simpulan bahwa lelakinya telah tiada namun kini Karsa dihadapannya. Wajahnya memar, tubuhnya terlihat ringkih dan kusam, kemeja flannel cokelatnya robek ditangan dan leher. Maya berlari memeluk Karsa menumpahkan rindunya seakan tak perduli Karsa hampir terjatuh menahan tubuh Maya.

“Kamu darimana? Semua orang bilang kamu diculik! Aku cemas”

“Aku terlambat… Sekarang aku sudah pulang”

……............................................................................................................

Suara langkah kaki kembali terdengar, begitupun alunan music klasik namun kali ini tanpa tawa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun