Mentari baru saja terbenam, meninggalkan jejak jingga di ufuk barat. Angin malam berdesir menerpa rinai gerimis, menggigit kulit Dimas yang sedang merapikan meja kantin. Lelaki muda itu baru saja menyelesaikan shift malamnya, tubuhnya lelah namun pikirannya berbinar.
Dimas bukan mahasiswa biasa. Di usianya yang ke-23, ia harus membagi waktunya antara bekerja sebagai karyawan kantin dan kuliah S1 jurusan Teknik Informatika. Keputusan yang ia ambil bukan tanpa alasan. Sejak ayahnya tiada, beban menghidupi ibu dan adiknya jatuh ke pundaknya.
Meski lelah, Dimas tak pernah mengeluh. Ia tahu pendidikan adalah satu-satunya senjata untuk mengubah nasib keluarganya. Ia selalu teringat pesan mendiang ayahnya, "Nak, setinggi apapun langit, cita-cita harus terus dikejar."
Malam ini, setelah menutup kantin, Dimas bergegas pulang. Ia tinggal di sebuah kontrakan sederhana bersama ibu dan adiknya. Lampu belajar yang temaram menjadi saksi bisu perjuangannya. Dimas membuka laptop bututnya, buku-buku kuliah tertata rapi di sampingnya.
Suara ketukan pelan di pintu tak mengalihkan fokusnya. Ibunya masuk, membawa segelas teh hangat. "Istirahat sebentar, Dik. Jangan terlalu diforsir," ujarnya lembut. Dimas tersenyum, meraih tangan ibunya dan mengecupnya. "Terima kasih, Bu. Doakan Dimas bisa lulus nanti, ya?"
Hari-hari Dimas penuh dengan rutinitas. Bekerja, kuliah, belajar, istirahat. Tak ada waktu untuk bersenang-senang. Teman-temannya yang asyik berorganisasi atau nongkrong, ia hanya bisa melihat dari jauh. Kadang, rasa iri itu muncul, namun Dimas cepat-cepat mengusirnya. Ia punya tujuan yang lebih besar.
Pernah suatu kali, Dimas jatuh sakit. Tubuhnya lemas, kepalanya pening. Tapi, ia tetap memaksa diri mengerjakan tugas kuliah. Ibunya khawatir, "Jangan kuliah dulu, Nak. Istirahat saja." Dimas menggeleng, suaranya serak, "Nggak bisa, Bu. Ini kesempatan emas Dimas meraih beasiswa."
Usaha Dimas berbuah manis. Ia berhasil meraih beasiswa penuh, beban biaya kuliahnya pun berkurang. Rasa lelahnya terbayar dengan kebahagiaan. Ia membuktikan bahwa kerja kerasnya tak sia-sia.
Waktu terus bergulir, dan akhirnya hari kelulusan tiba. Dimas meraih gelar sarjana dengan predikat cum laude. Bangga terpancar di wajah ibunya dan adiknya saat ia diwisuda. Air mata haru mengalir, air mata kemenangan.
Malam jingga menjadi saksi perjuangan Dimas. Dulu, ia hanya seorang karyawan kantin yang bermimpi meraih gelar sarjana. Kini, ia adalah seorang sarjana teknik informatika dengan masa depan yang cerah. Asa birunya telah menjelma menjadi nyata.