Hidungku mampet, kepala berdenyut, tenggorokan kering, namun yang paling menyiksa bukanlah virus flu yang berkeliaran, melainkan virus rindu yang menggerogoti hatiku. Ini flu percintaan, jenis penyakit yang hanya obatnya satu: kamu.
Sudah seminggu sejak kamu menghilang, tak ada pesan, tak ada suara. Ponselku jadi benda mati, dingin tak bernyawa tanpa dering notifikasimu. Facebook bagai kuburan kenangan, penuh foto mesra yang terasa mencemoohku.
Aku terbaring di ranjang, demam cinta membakar tubuhku. Setiap batuk adalah seruan namamu, setiap hembusan napas adalah doa agar kamu kembali. Sup hangat yang disodorkan ibu terasa hambar, tak sebanding dengan manisnya senyummu.
Dokter bilang tak ada virus dalam darahku, hanya gejala psikosomatis. Pil yang diresepkannya tak mempan, tak bisa menyembuhkan rindu yang merajalela. Obatnya sendiri, katanya, ya kamu.
Maka kuambil foto kita, ditempelkan di dahiku seperti kompres panas. Kucium aromanya, sisa wangi parfummu yang masih menempel. Kubaca ulang pesan-pesanmu, tiap aksara menusuk pedih, manisnya bercampur duka.
Di malam sunyi, batukku kian parah, mengaduh pilu bagai serigala melolong. Aku mimpi kau ada di sini, genggam tanganku, bisikkan kata cinta. Bangun pagi, bantal basah air mata, kenyataan menampar kejam.
Flu percintaanku semakin parah. Aku tak bisa makan, tak bisa tidur, hanya merindu, merindu, dan merindu. Ibu semakin khawatir, teman-teman mulai cemas. Aku tahu mereka tak paham, betapa sakitnya virus ini.
Sampai suatu hari, di tengah derai hujan, ponselku berdering. Nomor tak dikenal. Jantungku nyaris copot. Dengan nafas tersengal, kuangkat. Suaramu. Hangat, lembut, memecah sunyi.
"Maaf," katamu. "Ada hal yang harus aku selesaikan. Aku baru bisa memberimu kepastian sekarang."
Kata-katamu bagai obat ajaib. Flu percintaanku perlahan surut. Hidungku tak lagi tersumbat, kepala tak lagi berdenyut. Demam cintaku perlahan padam, digantikan oleh secercah harapan.