Api kecil itu menjilat-jilat ujung tembakau, tak beraturan. Cahaya oranye redup mengintip dari rongga gelap, menerangi mata renta Pak Darma yang sayu. Asap tipis mengepul, berkelok-kelok mencari jalan ke langit dan hilang terserap angin senja. Sepucuk kretek itu teman setia Pak Darma, tak pernah jauh dari jemarinya yang keriput.
Pak Darma tak hanya menghisap tembakau, tapi juga harapan. Setiap tarikan napas, terhisap pula mimpi-mimpi yang memudar tak lekang di usianya yang senja. Asapnya menggelitik rongga dada, menggelitik pula kenangan masa muda yang heroik. Dulu, dia seorang pelaut, menjelajah laut lepas yang membentang luas. Ombak dan badai jadi kawan, langit berbintang jadi atap.
Setiap hembusan asap, terhembus pula kisah cinta di dermaga, dengan gadis pelabuhan bermata bening dan senyum semanis gula kelapa. Tapi waktu, perahu tak berdayung di sungai kehidupan. Laut tenang menyisakan ombak duka, gadis itu pergi terbawa angin asing.
Pak Darma tak mengeluh. Di setiap kepulan asap, tersembunyi tekad tak pernah layu. Dia bertani, membanting tulang menyuburkan tanah yang tandus. Rokok jadi teman kala panen gagal, penawar lara di kala musim kemarau menyengat. Asapnya yang getir, manis di hatinya.
Asap kretek juga saksi bisu tumbuhnya sang cucu, Awan. Bocah kurus itu duduk di sampingnya, matanya berbinar menyaksikan tarian api di ujung rokok. Di wajah polosnya, Pak Darma melihat pantulan dirinya dulu, muda dan penuh mimpi.
"Kakek, kelak aku jadi pelaut, menjelajah lautan seperti kakek dulu!" Awan berkata dengan mimik serius, suaranya bersemangat. Pak Darma tersenyum, senyum yang sama dengan senyum kakek pelaut di cerita dongeng.
"Laut itu luas, Awan," katanya, sambil menghembuskan asap pelan. "Tapi, jangan lupakan daratan tempat kau berpijak. Tembakau ini, tanah ini, mereka juga punya cerita."
Awan mengangguk, matanya tak lepas dari asap yang membubung. Pak Darma tahu, di kepulan asap tipis itu, Awan tak hanya melihat api, tapi juga mimpi. Mimpi berlayar, tapi tak melupakan akar.
Rokok habis, bara api terakhir padam. Pak Darma tersenyum lagi, senyum yang tenang dan damai. Asap, meski lenyap, meninggalkan jejak kehangatan di hatinya. Kehangatan mimpi yang terus menyala, diturunkan dari seorang kakek tua kepada cucunya, melalui kepulan asap tembakau yang bercerita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H