Ibu Melati bukan guru biasa yang wangi melati seperti namanya saja - ia adalah orkestra satu orang bagi kelas kami yang tak harmonis suaranya sehari ke hari.. Ia datang bukan dengan silabus kaku atau kaset pidato usang di tangannya - tapi dengan sekantong penuh kertas merah dan senyum yang bisa menghidupkan batu sekalipun.
Senyum itulah tongkat konduktornya yang menyatukan kami yang bagai instrumen sumbang - si pendiam Bayang di suling bambu keheningannyai.. si cerewet Nina di djembe gemericik bicaranya.. bahkan si pembuat onar Rio di kenthongan ketukan kejahilannya.
Hari pertama ia datang tanpa pengenalan atau perkenalan diri.. ia hanya melempar kertas merah ke udara dan berteriak riang,"Tangkap dan buat apa pun yang kalian mau!". Kelas yang awalnya ricu riuh seketika terdiam kebingungan.. Rio bahkan melempar kertas itu dengan dengki.. Ibu Melati hanya terkekeh sambil merentangkan tangan dan kertas merah lain melayang lagi.."Ayo tangkap!".
Bayang yang biasanya menghilang di pojok kelas akhirnya memberanikan diri mengambil satu.. Nina dengan antusias menari sambil merobek kertasnya jadi hiasan.. Rio pun terpancing.. ia melipat kertas itu dengan kaku membentuk pesawat terbang yang tak sempurna.
Lalu Ibu Melati bercerita.. tentang kertas merah yang melambangkan mimpi.. tentang pesawat yang tak sempurna tapi bisa menggapai langit.. tentang lagu sunyi Bayang yang menyimpan melodi indah.. tentang djembe Nina yang bisa mengiring tarian kebahagian.. Dia tak menggurui.. ia hanya menanam bibit mimpi di tangan kami.. setiap kertas.. setiap cerita.. menyuburkan harapan di gersang hati anak SMP yang kehilangan arah.
Hari demi hari.. kelas kami tak lagi sunyi.. penuh suara lipatan kertas.. dentingan suling.. gemerincing hiasan.. dan ketukan kenthongan yang mulai berirama.. Ibu Melati tak pernah memaksa.. ia hanya memberi ruang dan alat.. biarkan kami menggubah kertas merah itu menjadi simponi kehidupan.
Lalu tiba ujian.. hasilnya tak mengejutkan.. nilai kami tak menanjak drastis.. tapi mata anak kelas kami bersinar.. Bayang berani tampil solo sulingnya.. Nina menari dengan hiasan kertasnya.. Rio bahkan membuat pesawat sungguhan dari sisa kertas.. Ibu Melati bertepuk tangan.. matanya berkaca.
Tak lama Ibu Melati pindah tugas.. kertas merah di kelas menipis.. tapi bibit mimpi telah tumbuh subur.. kami tak lagi anak yang sama.. Bayang jadi musisi muda bersemangat.. Nina penari penuh hiasan.. Rio pembuat pesawat mimpi.. dan aku.. penulis cerpen yang menuangkan tinta mimpi dari selembar kertas merah.
Ibu Melati mungkin lupa kelas kami.. tapi kami takkan pernah lupa orkestra satu orang yang mengubah kertas merah menjadi lagu kehidupan.. Ibu Melati.. guru tak biasa yang menjadikan anak tak harmonis bernyanyi bersama.. dalam satu simponi mimpi yang takkan padam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H