Senja menjemput hari dengan sapuan jingga keemasan, menelusup lembut ke jendela kamar renta nenek Salma. Udara senเย็น mengantarkan aroma tanah basah dan dedaunan yang berbisik gemerisik. Nenek Salma duduk di kursi kayunya, jemarinya menari mengikuti irama senja, matanya yang keruh menatap jauh ke cakrawala, tempat di mana guratan matahari bertemu dengan birunya langit.
Rindu itu selalu datang bersama senja. Rindu kepada senja-senja masa mudanya, saat ia berlarian di bawah langit jingga bersama kekasihnya, tawa lepas mereka berpadu dengan kicau burung jingga yang terbang pulang ke sarang. Rindu kepada senja saat anak pertamanya lahir, senja yang hangat seperti pelukan bayi mungilnya. Rindu kepada senja-senja yang dijalani bersama suami tercinta, berpegangan tangan hingga kulit keriput mereka menyatu.
Setiap guratan di wajah nenek Salma adalah peta rindu, setiap kerut-kerut adalah senja yang telah ia lalui. Dan di tangannya yang renta, secangkir teh hangat mengepulkan kenangan, pahit manisnya hidup terlarut dalam aroma melati.
Seorang bocah, cucu perempuan nenek Salma, berjingkat masuk ke kamar. Mata besarnya menatap penuh takjub pada neneknya dan cangkir teh di tangannya. Nenek tersenyum, matanya berbinar.
"Nenek, apa yang nenek lihat?" tanya bocah itu, suaranya lembut seperti angin senja.
"Nenek melihat senja, Nak," nenek mengepulkan tehnya, menghirup aroma kenangan, "senja yang penuh rindu dan cerita."
Cucu perempuan itu mengerutkan keningnya. "Apa rindu itu, Nek?"
Nenek mengelus rambut cucu perempuannya, senyumnya seperti guratan matahari. "Rindu itu seperti angin, Nak, ia tak terlihat tapi bisa dirasakan. Ia membawa kita kepada orang-orang yang kita cintai, ke tempat-tempat yang kita rindukan, meski mereka tak lagi ada di samping kita."
Bocah itu terdiam, merenungkan kata-kata neneknya. Ia menatap ke luar jendela, senja telah berganti malam, bintang-bintang mulai bertaburan.
"Apakah nenek rindu kakek?" tanya bocah itu, suaranya kecil.