Mohon tunggu...
Sendi Suwantoro
Sendi Suwantoro Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ketua SEMA FTIK IAIN Ponorogo 2023/2024

Jangan pernah meremehkan orang walaupun bersalah jangan memandang diri sendiri ketika punya kelebihan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kisah Cinta Beraroma Bubuk Kegelapan: Cinta yang Dibumbui Candu Kopi

11 Januari 2024   12:49 Diperbarui: 11 Januari 2024   13:12 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aromanya menusuk, menggelitik indera perasa yang mulai tumpul. Bukan sekedar kopi hitam kental biasa, ini ramuan rahasia Pak Djarwo, si tukang giling tua di ujung gang. Bubuk kopi dicampur rempah-rempah liar, dibakar di atas arang membara, asapnya dihisap dengan pipa bambu tua. Katanya, ini candu kopi, nikmat dan mematikan.

Aku pertama kali mencobanya bukan karena tawaan liar Pak Djarwo atau mitos para pemabuk yang sering nongkrong di warungnya. Ini karena dia. Awan, gadis bermata hazel setajam kenus kopi, senyumnya lebih manis dari gula Jawa. Dia menantangku, gadis dari kota metropolitan, untuk merasakan candu kopinya.

Hisapan pertama. Asap berkelok-kelok di tenggorokan, pahit menusuk ke ubun-ubun. Tapi lalu ada api yang menjalar, sensasi yang liar dan asing. Dunia melambat, detail di sekitar mata tertajam, suara bising kota menyatu dalam hentakan nadi. Dan Awan, matanya menyipit di balik asap, tertawa, senyumnya lebih menggoda dari candu kopi itu sendiri.

Baca juga: Candu dan Kopi

Malam-malam berikutnya, aku jadi langganan warung Pak Djarwo. Bukan hanya candu kopinya, tapi Awan. Kami bercerita di bawah kerlip bintang, diiringi dentingan gitar tua dan dengkur para pemabuk. Dunia di ujung gang ini lebih nyata dari gedung-gedung kaca kotaku.

Cinta bersemi di antara asap candu dan tawa mabuk. Awan mengajariku menanam rempah-rempah, memetik biji kopi merah yang tersembunyi di sela-sela pohon rindang. Aku bercerita padanya tentang gedung-gedung tinggi, kemacetan yang tak berujung, dan mimpi-mimpi yang mulai pudar.


Tapi candu kopi tak selamanya manis. Suatu malam, setelah hisapan dalam, dunia berputar, mual memilin perut. Kegelapan menelan, suara Awan samar-samar. Bangun di gubuk Pak Djarwo, kepala berdenyut, Awan di sampingku, matanya cemas.

Pak Djarwo hanya terkekeh, "Candu kopi itu candu, Nak. Nikmat tapi bisa meracuni."

Kata-katanya menohok. Candu kopi, seperti cinta Awan, memang memikat, tapi apa ia cukup kuat untuk di bawa ke kota kejamku? Apa aku layak membawa Awan dari dunia sunyi penuh bintang ini ke hiruk-pikuk yang akan menenggelamkannya?

Malam itu, di bawah langit tanpa bintang, aku pamit. Rasa kopi pahit menggenang di bibir, bukan hanya karena hisapan terakhir, tapi karena perpisahan yang tak terucap. Dunia kota menyambutku dengan dingin, hirup-pikup gedung-gedung, mimpi-mimpi yang kian kabur. Tapi di dada, aroma candu kopi tak kunjung hilang, dibarengi bayangan gadis bermata hazel dan langit penuh bintang.

Cinta beraroma bubuk kegelapan itu tak terlupa. Dia pelajaran, bahwa terkadang, nikmat terindah tak bisa digenggam, dan ada cinta yang terlalu liar untuk dibawa pulang. Dia candu kopi, manis dan mematikan, meninggalkan bekas kepah yang tak terhapus, tapi juga kenangan yang menghangatkan dalam dinginnya dunia beton.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun