Mohon tunggu...
Sendi Suwantoro
Sendi Suwantoro Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ketua SEMA FTIK IAIN Ponorogo 2023/2024

Jangan pernah meremehkan orang walaupun bersalah jangan memandang diri sendiri ketika punya kelebihan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jingga di Telapak Tangan Nenek

11 Januari 2024   08:43 Diperbarui: 11 Januari 2024   09:45 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pixabay.com/id/photos/nenek-anak-anak-laptop-myanmar-1822560/

Senja mengoles langit dengan warna jingga keemasan, merayap lembut ke jendela kamar nenek. Udara senเย็น membawa aroma tanah basah dan angin yang berbisik di dedaunan. Nenek duduk di kursi kayu dengan tangan renta yang berkeriut-keriut, jemarinya menari mengikuti irama senja.

Matanya yang keruh menatap jauh, ke cakrawala yang dihiasi gumpalan awan merah jambu. Di telapak tangannya, teronggok sebiji biji matahari - bulat sempurna, berwarna keemasan, seolah menyimpan cahaya senja. Ia memutar-mutar biji itu, ingatannya melayang ke masa lalu, ke senja-senja yang telah terlewati.

Senja di kala ia muda, saat ia berlarian di sawah bersama anak-anak desa, rambut disisir angin, tawa lepas berbaur dengan gemericik air sungai. Senja saat ia jatuh cinta, jantung berdebar kencang seperti burung terperangkap, senyum kekasihnya semerah rona jingga di langit. Senja saat ia memeluk anak pertamanya, kehangatan bayi mungil itu melebihi cahaya matahari terbenam.

Setiap guratan di wajah nenek adalah peta kehidupan, setiap kerut-kerut adalah senja yang telah ia lalui. Dan di tangannya yang renta, biji matahari itu bukan sekadar biji, tapi wadah kenangan, benang-benang senja yang dirajut menjadi kisah hidupnya.

Seorang bocah, cucu perempuan nenek, berjingkat masuk ke kamar. Mata besarnya menatap penuh takjub pada nenek dan biji matahari di telapak tangannya. Nenek tersenyum, matanya berbinar.

"Nenek, apa itu?" tanya bocah itu, suaranya lembut seperti angin senja.

"Ini, Nak," nenek mengepalkan tangannya, "ini adalah senja yang nenek simpan untukmu."

Perlahan, nenek membuka kepalan tangannya. Bocah itu terkesima. Biji matahari di tangan nenek bercahaya, memantulkan rona jingga senja. Ia mengulurkan tangannya, ragu-ragu, dan nenek meletakkan biji itu di telapak tangannya.

Bocah itu menggenggam biji matahari, merasakan kehangatan yang mengalir dari benda kecil itu. Senja di matanya tak lagi sekadar warna di langit, tapi sebuah cerita, sebuah warisan dari neneknya.

Senja berlalu, senyap ditelan malam. Nenek tertidur, senyum damai menghiasi wajahnya. Bocah itu masih terjaga, menggenggam biji matahari, matanya berbinar di kegelapan, mimpi senja bertaburan di benaknya.

Biji matahari di telapak tangan nenek bukanlah sekadar benda. Ia adalah jembatan waktu, pengantar kisah, dan penyemai harapan. Senja yang tersimpan, siap diwariskan dari generasi ke generasi, mewarnai kehidupan dengan cahaya keemasan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun