Senja mengoles langit dengan warna jingga keemasan, merayap lembut ke jendela kamar nenek. Udara senเย็น membawa aroma tanah basah dan angin yang berbisik di dedaunan. Nenek duduk di kursi kayu dengan tangan renta yang berkeriut-keriut, jemarinya menari mengikuti irama senja.
Matanya yang keruh menatap jauh, ke cakrawala yang dihiasi gumpalan awan merah jambu. Di telapak tangannya, teronggok sebiji biji matahari - bulat sempurna, berwarna keemasan, seolah menyimpan cahaya senja. Ia memutar-mutar biji itu, ingatannya melayang ke masa lalu, ke senja-senja yang telah terlewati.
Senja di kala ia muda, saat ia berlarian di sawah bersama anak-anak desa, rambut disisir angin, tawa lepas berbaur dengan gemericik air sungai. Senja saat ia jatuh cinta, jantung berdebar kencang seperti burung terperangkap, senyum kekasihnya semerah rona jingga di langit. Senja saat ia memeluk anak pertamanya, kehangatan bayi mungil itu melebihi cahaya matahari terbenam.
Setiap guratan di wajah nenek adalah peta kehidupan, setiap kerut-kerut adalah senja yang telah ia lalui. Dan di tangannya yang renta, biji matahari itu bukan sekadar biji, tapi wadah kenangan, benang-benang senja yang dirajut menjadi kisah hidupnya.
Seorang bocah, cucu perempuan nenek, berjingkat masuk ke kamar. Mata besarnya menatap penuh takjub pada nenek dan biji matahari di telapak tangannya. Nenek tersenyum, matanya berbinar.
"Nenek, apa itu?" tanya bocah itu, suaranya lembut seperti angin senja.
"Ini, Nak," nenek mengepalkan tangannya, "ini adalah senja yang nenek simpan untukmu."
Perlahan, nenek membuka kepalan tangannya. Bocah itu terkesima. Biji matahari di tangan nenek bercahaya, memantulkan rona jingga senja. Ia mengulurkan tangannya, ragu-ragu, dan nenek meletakkan biji itu di telapak tangannya.
Bocah itu menggenggam biji matahari, merasakan kehangatan yang mengalir dari benda kecil itu. Senja di matanya tak lagi sekadar warna di langit, tapi sebuah cerita, sebuah warisan dari neneknya.
Senja berlalu, senyap ditelan malam. Nenek tertidur, senyum damai menghiasi wajahnya. Bocah itu masih terjaga, menggenggam biji matahari, matanya berbinar di kegelapan, mimpi senja bertaburan di benaknya.