Embun pagi masih bergantungan di dedaunan, kala Nina melangkah masuk ke rumah neneknya. Aroma kopi dan wangi melati yang khas menyambutnya, mengantar pelukan hangat neneknya yang tak pernah lekang.
"Sudah sampai, Nduk?" sapa nenek, matanya yang keriput menyipit penuh kasih.
Nina mengangguk, meletakkan tasnya di kursi kayu tua. "Nenek masak apa hari ini?"
Nenek terkekeh, kerut di wajahnya semakin dalam. "Masak rendang kesukaanmu, Nduk. Sama sayur kangkung."
Nina tersenyum, rendang nenek memang tiada dua. Tapi bukan rendang yang paling dirindukannya, melainkan batik nenek. Batik cokelat keemasan, sarat motif bunga melati, yang selalu dikenakannya saat Nina masih kecil.
"Nenek, batiknya mana?" Nina bertanya hati-hati, sudah lama ia tak melihat nenek mengenakannya.
Nenek terdiam, raut wajahnya berubah sayu. "Sudah tua, Nduk. Nggak pantas lagi nenek pakai."
Nina berlutut di samping nenek, meraih tangannya yang keriput. "Nenek nggak tua, kok. Nenek cantik pakai apa pun."
Nenek tersenyum, matanya berkaca-kaca. "Kamu selalu bisa bikin nenek senang, Nduk."
Nina mengambilkan kain batik itu dari lemari tua di sudut ruangan. Kain itu terlipat rapi, seolah menyimpan banyak cerita.