Bunga adalah lambang keindahan, simbol dari keromantisan. Dalam tradisi dari segala zaman, manusia menggunakan bunga untuk menyimbolkan keindahan yang tidak terlukiskan oleh kata-kata.
Bunga dianalogikan sebagai lambang apresiasi tentang cinta, ketulusan, persahabatan, sukacita, dan lainnya. Bagi para pria, memberikan bunga kepada kekasih atau istri bahkan untuk ibu, pasti akan meninggalkan kesan mendalam di hati bahwa mereka dikasihi. Ini adalah sebuah bentuk pernyataan kasih yang indah dan menyentuh.
Laki-laki mengirim bunga untuk menyampaikan rasa cinta dan sayangnya yang tak mampu ia wakilkan pada kata dan kalimat. Sebaliknya, perempuan menangkap dari bunga makna cinta dan kasih sayang yang hanya bisa dirasakan tapi tak terurai oleh kata.
Tapi, dibalik itu semua, bunga juga adalah lambang sempurna bagi kesementaraan dan kefanaan. Mekar, mengembang, dan tampak indah memukau di pagi hari, bunga akan segera layu dan bahkan gugur pada sore harinya, atau pada pagi berikutnya.
Karakter 'memukau tapi fana' inilah yang menjadikan bunga sebagai representasi kenikmatan dunia dalam al-Quran. Dengan istilah "zahratul hayat", Allah dalam Surat Thoha: 131 menggunakan bunga untuk menggambarkan betapa sementara dan fananya kesenangan dunia.
Artinya, semua kenikamatan di dunia ini, betapapun indah dan menggiurkan, hakikatnya sementara, fana, dan tidak abadi. Harta, tahta, jabatan, wanita, keluarga, pengaruh, popularitas, kekuasaan, kecantikan, kegantengan, kepintaran, semuanya adalah bunga. Suatu saat begitu membanggakan, mengenakkan, dan menggiurkan, bak bunga yang mekar dan harum. Tapi kemudian berakhir dan sirna, laksana layu dan gugurnya sekuntum bunga di sore hari.
Keabadian dalam kenikmatan dunia hanyalah sebatas usia dan hidup kita. Semua serta merta akan sirna dan berakhir ketika kematian menjemput kita. Kematian mengakhiri kuasanya penguasa, kuatnya orang kuat, pintarnya orang pintar, kayanya orang kaya, dan tenarnya para pesohor.
Maka, nilai dan harga dari segala nikmat dunia adalah sejauh mana ia menyelamatkan pemiliknya di akhirat kelak. Apalah arti kekuasaan dunia kalau kelak kekuasaan itu tidak menyelamatkan kita di hadapan Allah, atau bahkan menjerumuskan kita kedalam murkaNya. Begitu juga kepintaran, kekayaan, ketenaran, pengaruh, dan segala macam kebanggaan dunia, semua tak ada nilainya kalau tidak menghantarkan kita kepada ridho Allah SWT.
Oleh karena itu, jangan sampai kenikmatan dunia yang sementara ini melalaikan kita akan kehidupan akherat yang abadi. Sebaliknya, semua kenikmatan dunia harus kita gunakan untuk menyiapkan bekal akhirat kita yang gemilang. Muslim sejati adalah yang menggunakan segala bentuk nikmat dunianya untuk mencapai nikmat akhirat.
Nikmat literasi berupa kepiawaian menulis adalah satu dari nikmat Allah yang tidak dirasakan oleh semua orang. Maka, siapapun diantara kita yang dititipi nikmat ini harus menggunakannya untuk mengamankan akhiratnya. Celakanya seorang penulis yang ketika ajalnya tiba ia belum menggoreskan tinta kebaikan bagi orang lain. Sebaliknya, beruntunglah seorang penulis yang ketika ia telah mati tulisannya tetap hidup, menebar kebaikan tanpa henti, mengirim pahala buatnya tanpa putus.