14 Juli! Bagi Perancis, tanggal ini menjadi ironi. Eforia perayaan kebebasan yang dihasilkan melalui perjuangan berdarah dua abad lalu, seakan dibungkam total oleh teror mematikan yang dalam sekejab melontarkan senjata pemungkas primitifnya: pembunuhan masal! Bagi rakyat Perancis, suasana 14 Juli 1789 amat kontras dengan 14 Juli 2016. Satunya eforia kegembiraan, lainnya tragedi yang mengusung duka dan perkabungan.
14 Juli 1789 revolusi Perancis mencapai puncaknya. Massa rakyat menyerbu penjara Bastille dan meruntuhkannya. Kemenangan rakyat tertindas atas keangkuhan kekuasaan penindas. Bastille merupakan simbol kepongahan kekuasaan raja Louis XIV yang sangat otoriter dengan sistem pemerintahan morakhi absolutnya. Semboyan yang melandasi prinsip kekuasaannya adalah l’etat c’est moi (negara adalah saya). Dengan semboyan itu, raja adalah undang-undang dan hukum, bahkan melampauinya. Bastille menjadi simbol pemasungan kebebasan, dimana semua orang yang diidentifikasi sebagai penentang raja, atau yang tidak disukainya dijebloskan ke dalamnya tanpa sebab-sebab yang pantas.
Semboyan mengerikan raja Louis l’etat c’est moi digantikan dengan semboyan rakyat bernafaskan nilai dasar kemanusiaan universal, yang dirumuskan dengan indah dan filosofis, lalu dikumandangkan oleh filsuf J.J.Rousseau, yaitu liberte (kebebasan), egalite (kesetaraan) dan fraternite (persaudaraan). Maka, tanggal 14 Juli itu merupakan perayaan besar secara nasional. Sebuah kemenangan atas kediktatoran yang serba mengekang. Sebuah kegelapan peradaban tergantikan oleh terbitnya matahari kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan. Demikianlah, setiap tahun hari yang syarat pesan peradaban itu dirayakan dengan meriah, gegap-gempita. Perayaan selalu ditutup dengan pesta kembang api, yang membuat langit malam di seluruh kota menjadi terang benderang. Simblolisme kerlap kerlip cahaya peradaban?
Adalah Mohamed Lahouaiej Bouhlel, seorang lelaki keturunan Tunisia beranak tiga disinyalir sebagai pelaku teror yang mnyebabkan tragedi Nice, 14 Juli 2016 itu. Dengan menyetir truk tronton berkapasitas sekitar 20 ton, ia meluncur dengan kecepatan tinggi di malam perayaan Bastille Day, menerobos ke tengah kerumunan khalayak yang sedang larut dalam kegembiraan dan keasyikan menyaksikan pesta kembang api. Kartu identitasnya ditemukan dalam truk, dengan sejumlah senjata dan bahan peledak.
Apapun motif pembunuhan itu, apapun alasannya, pastilah terkait dengan sebuah prinsip. Sebuah kebenaran partikular yang dijadikan pegangan. Atau, prinsip komunal yang hendak dipaksakan menjadi pegangan universal. Mungkin saja, itu adalah tuhan.
Sejak keruntuhan Bastilles, kemenangan revolusi rakyat, Perancis seolah-olah menjadi pemuja kebebasan. Selain J.J.Rousseau melalui motto perjuangan revolusi itu, filsuf Perancis lainnya yang mengajarkan kebebasan individu sebagai esensi manusia adalah Jean-Paul Sartre. Bagi Sartre, kebebasan manusia bersifat mutlak karena hanya manusia yang bereksistensi. Berkesistensi maksudnya manusia hadir dengan kesadarannya sehingga ia berkemampuan untuk memilih dan menentukan esensi dirinya. Hanya manusia berada untuk dirinya (l’etre-pour soi). Untuk itulah kebebasan menjadi prasyarat kemungkinan agar manusia menguasai diri sepenuhnya, dan bertanggungjawab atas dirinya lewat pilihan-pilihan dan keputusan-keputusan yang dibuatnya. “Human rality is free and completely free,” demikian Sartre.
Sekiranya Sartre masih hidup, dan menyaksikan atau merasakan tragedi Nice di malam perayaan Bastille Day 2016 itu, dia makin yakin akan “hipotesis tuhannya” itu. Belum genap setahun sebelumnya bom bunuh diri serentak di enam titik di jantung ibu kota Perancis, tempat kelahiran Sartre yang mengakibatkan kematian setidaknya 130 orang. Bahkan, sepanjang sejarah, dan terutama 20 tahun terakhir ini ketika teror atas nama Tuhan atau atas nama agama merangsek masuk ke wilayah Eropa dan Amerika, lalu merobek kemanusiaan dengan menciptakan pembunuhan massal, rasanya kita pun makin mudah memahami renungan filosofis sang filsuf ateis itu. Ironisnya lagi, semarak teror masuk ke wilayah-wilayah itu justru dimungkinkan oleh bekerjanya spirit liberte, egalite, dan fraternite yang menjadi jargon peradaban dunia.
Mohamed Bouhlel dan ISIS.