Apa yang terbayangkan bila menyebut nama Habieb Rizieq, FPI, GPFMUI, dan konco-konco sejenis? Orasi berapi-api yang diafirmasi seruan takbir, agitasi, semprotan tuduhan kafir, murtad, munafik menyasar siapapun yang berbeda, gerakan massa besar, dan “kesan keras” lainnya. Satu frase yang cukup kuat menangkap kesan itu adalah, liar!
“Keliaran” Habieb Rizieq CS yang mengatasnamakan diri sebagai “pembela Islam” telah kerap menggetarkan panggung NKRI. Setidaknya, sejak akhir tahun 2016 hingga Februari 2017 telah sukses menyelenggarakan demontrasi massa mencapai puluhan bahkan ratusan ribu orang. Sebelumnya, meski dengan jumlah massa lebih kecil, namun selalu hadir dalam berbagai momen dengan gaya khas keras dan cenderung meneror.
Dengan “jabatan” sebagai pembela Islam, tentu banyak yang diharapkan oleh Rizieq dan teman-temannya terkait kunjungan Yang Mulia Sri Baginda Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud (raja Salman) di Indonesia. Sebagai “penyelamat Islam” di Indonesia, mereka patut mengharapkan perhatian lebih Raja Salman agar memompa daya juang di “negara satelit Islam” ini. Seakan-akan mereka adalah “duta ke-Islaman” yang bertugas mensucikan dan meluruskan negeri ini dari kesesatan ajaran Islam. Sebagai pejuang, mereka tentu membutuhkan suntikan obat kuat.
Apalagi, sebagai negara dengan penduduik Muslim terbesar dunia, kehadiran raja Salman di Indonesia sudah pasti menyedot perhatian global. Betapa tidak? Raja Salman sebagai penjaga dua kota suci umat Islam dunia (Makkah dan Madinah), juga bisa disebut sebagai raja dari negeri yang menjadi “pusat tata surya” bagi warga Muslim dunia. Terlebih khusus tentu menjadi pusat perhatian masyarakat Indonesia yang rela berhujan-hujanan menunggu di jalan menyaksikan lewatnya arak-arakan baginda raja dan rombongan. Baik warga muslim maupun non muslim.
Kehadiran yang menyedot perhatian besar itu juga karena rombongan yang menyertai sang Raja tergolong besar (sekitar 1500 orang), dengan durasi perkunjungan lumayan lama (kurang lebih 10 hari). Demikian pula, rencana investasi seperti sudah disepakati terhitung amat besar dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Besarnya investasi Arab di Indonesia membuka sejarah baru hubungan antara kedua negara, sekaligus membuktikan betapa berartinya Indonesia dimata raja Salman dan warga Saudi Arabia.
Membanggakannya bukan sekadar karena menjadi perhatian luas masyarakat dunia. Melainkan, dampak kehadirannya bagi dunia dan khususnya Indonesia. Bagi Indonesia, tentu saja paling aktual dan relevan adalah bahwa kehadiran raja Salman ditengah situasi sedang menguatnya gerakan populis kanan dengan teror massa yang kerap merangsek masuk ke ruang-ruang publik dan ruang politik Indonesia. Rizieq, cs seakan-akan makluk liar yang terlepas dari pelembagaan partikulernya, lalu hendak menginvasi ruang publik dan ruang politis. Sebagai pemegang kunci “pusat tata surya warga Muslim” kehadirannya pasti berdampak pada atmosfir percaturan politik Islam populis atau akrab disebut sebagai Islam garis keras itu.
Seperti diktahui, kelompok Islam populis ini telah beberapa kali menggalang massa dalam jumlah amat besar untuk memaksakan tuntutan dan keinginan pada pemerintah. Mereka mengatasnamakan demokrasi namun hendak membunuhnya. Berulang kali mereka merepotkan pemerintah dan masyarakat Indonesia dengan berbagai tuduhan seperti kafir, munafik, antek-antek aseng, penista, dan sejenisnya. Juga, ancaman menjatuhkan pemerintah dan menurunkan pejabat dari kedudukan formalnya.
Namun, rupanya harapan mereka untuk mendapatkan oksigen fresh dari kehadiran raja Salman tidak prospektif. Sebaliknya, terkesan kuat efek yang didapatkan adalah justru terkuncinya gerakan-gerakan oleh Presiden Joko Widodo.
Ada beberapa alasan, mengapa gerak Habieb Riziq cs di panggung mulai terkunci mati.
Pertama; satu diantara sebelas kesepakatan, yaitu dukungan Arab bagi pengembangan Islam Moderat di Indonesia. Seperti dilansir di nasional.kompas.com Menteri Agama Lukman hakim Saifudin menjelaskan bahwa sudah tertera dalam salahsatu Nota Kesepakatan (MoU) yang mengatur secara tegas tekad kedua negara meningkatkan upaya untuk menanggulangi gerakan radikalisme, ekstremisme dan terorisme. Hal yang senada ditegaskan oleh raja Salman dalam pertemuannya dengan tokoh-tokoh Islam maupun tokoh-tokoh lintas iman.
Kedua; usaha Rizeq untuk bertemu langsung dengan raja Salman tidak kunjung kesampaian. Bagai punuk merindukan bulan, demikianlah upaya keras Rizieq meloby DPR (Sumber) , meski senantiasa didukung sohib sealirannya duo kwek-kwek di DPR yang sering memberikan panggung aksi baginya, jauh dari terkabul. Laksana cinta pertama yang menggebu-gebu nafsu namun bertepuk sebelah tangan, Rizieq sakit hati bukan maen. Ia tidak jadi menghadiri undangan DPR untuk mendengarkan pidato baginda Raja Salman. Bila pun hadir, dengan “hanya” dijatahi kursi belakang di balkon, dan durasi pidato baginda yang hanya dua menit, tentu mustahil bisa bersalam-salaman. Apalagi berharap ber-selfie ria dengan Sri Baginda raja Salman, meniru Puan Maharani (cucu sang Proklamator) dan Megawati Soekarnoputri, atau Presiden Jokowi lewat Vlog. Daripada hadir hanya sebagai penonton kelas ekonomi, Rizieq mungkin memutuskan merenung di rumah saja sambil dengarin lagu dangdut. Galau berat. Kata Ayu si ting ting, “sakitnya di mana-mana.”