Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Surpol di Twitter, Haji Lulung Menangkan Ahok-Djarot

11 Oktober 2016   17:23 Diperbarui: 11 Oktober 2016   17:46 2197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Schreenshot dari account twitter H.Lulung

Semenjak penetapan resmi tiga pasangan calon (Paslon) yang akan mengikuti kontestasi Pilkada DKI 2017 oleh KPUD 23 September 2016, berbagai survei berlomba “unjuk data” dan “unjuk analisis.” Terbaca ada tendensi menggoda para paslon untuk menggunakan jasa-jasa “kerja ilmiah” mereka. Bagaimana pun, bisnis jasa survei di Indonesia telah marak sejak reformasi di negeri yang memiliki even politik terbanyak di dunia ini. Bayangkan, tardapat sekitar  514-an even pilkada Kabuptean/Kota dan 34 even Pilgub, berlangsung setiap lima tahun, lalu Pemilihan Legislatif (Daerah dan Pusat) dan Pemilihan Presiden, juga lima tahunan.  

Dari segi bisnis tentu menggiurkan. Sebab, berdasarkan pengamatan, lebih banyak pengguna jasa memaksudkan “hasil survei” sebagai alat membentuk, bahkan menggiring opini. Dalam hal ini, survei politik (surpol) sama sekali jauh dari kriteria metode ilmiah sebab hasil akhirnya sudah terlebih dahulu ada, barulah survei dilakukan. Survei politik (surpol) bukan diperuntukan bagi pengambilan keputusan, sebaliknya keputusan sudah terlebih dahulu dibuat. Karenanya survei “harus bisa” membenarkan keputusan. Boleh dikatakan, surpol adalah “teknik mobilisasi data untuk mendukung keputusan yang sudah dibuat.” Canggih, bukan?

Itulah sebabnya, lembaga-lembaga survei nyaris seperti wanita penggoda politisi hidung belang. Mereka pandai merawat diri, rajin nyalon untuk memoles citra, berani menjemput bola, juga mempercanggih jurus menggodanya. Maka, jangan heran kalau baru saja diputuskan secara mendadak, misalnya pasangan calon Agus-Sylvi, sudah ada publikiasi hasil survei yang membuktikan pasangan ini mendapatkan dukungan terbanyak mengalahkan petahana. Padahal kedua orang yang dipasangkan ini sebelumnya sama sekali tidak popular di panggung politik dan publik DKI.

Tepatnya, sekitar 3 jam setelah pendafataran di KPU, Lembaga Survei Pemilu Indonesia (LSPI) mengumumkan hasil surpol-nya.  Menurut LSPI, hasil survei mereka mengejutkan (!!!!?) karena AHY-Silvi didukung 36,3%, sementara petahana Ahok-Djarot di urutan kedua 21,1%, diikuti Anis-Sandi hanya 10,4%. Sisanya belum menentukan.

Tak kalah, stasiun televisi swasta milik Aburizal Bakrie (ARB), yaitu tv.One mengumumkan hasil surpol-nya 27 September, yang  makin memperkuat hasil LSPI.  Paslon AHY-Sylvi mendapat dukungan 52%,  Ahok-Djarot 29%, dan Anies-Sandi 19%. Mudah dipahami, mengingat ARB berseberangan dengan Setya Novanto dalam hal dukungan Golkar ke Ahok-Djarot maka hasil ini tak mengherankan. Pun, bisa dipastikan kemana arah dukungan sang sutradara “tragedi Lapindo” ini.  Publik juga tentu masih ingat reputasi survei tv.One saat Pilpres 2014 yang memenangkan pasangan Prabowo-Hatta, meski akhirnya Jokowi-JK yang dilantik jadi Presiden RI 2014-2019.

Surpol lainnya dilakukan LSI (Lembaga Survei Indonesia) tanggal 28 September-2 Oktober  2016. Hasilnya menyebutkan kecenderungan menurunnya dukungan terhadap Ahok-Djarot (dibandingkan dengan surpol-surpol sebelumnya) namun masih tertinggi. Lengkapnya, Ahok-Djarot 31,4%, diikuti Anis-Sandi 21,1%, lalu AHY-Sylvi 19,3%. Sisanya belum menentukan pilihan.

Ke depan, menjelang dan selama masa kampanye hingga berlangsungnya hari pemilihan, tentu akan banyak lembaga mendemosntrasikan kecanggihannya dalam hal surve-surveian. Mungkin muncul lembaga-lembaga survei baru yang ingin mengadu  untung di “pasar survei pilkada” yang memang menggiurkan ini, ataupun lembaga survei hasil bentukan parpol dan pendukung paslon.

Bagaimana kalau surpol dilakukan oleh “musuh bebuyutan” Ahok, yaitu Haji Lulung (Abraham Lulung Lunggana)? Dalam banyak hal Haji Lulung berseberangan dengan Ahok, juga sebaliknya. Terlihat dari keseringan berbalas pantun politik dan berbalas tekanan. Terakhir, meski PPP kubu pak Haji mengumumkan akan mendukung Ahok-Djarot, pak Haji tetap teguh menyatakan tak ikut mendukung.  

Di twitter-nya tanggal 8 Oktober 2016 pak Haji Lulung melakukan “survei” dengan mengajukan pertanyaan, “Siapakah calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta 2017 pilihan favorit Anda, semoga polling ini bermanfaat untuk warga Jakarta.” Hasilnya? Ahok-Djarot dipilih 45%, AHY-Sylvi 37% dan Anis-Sandi 18%.   Meskipun dalam polling nama paslon Ahok-Djarot diurutkan terakhir dan AHY-Silvi di urutan paling atas, namun hasilnya Ahok-Djarot lebih banyak dipilih nitizen. Tentu, para follower pak Haji Lulung.  Entah  bagaimana pak Haji menyikapi hasil surpolnya ini.

Akhirnya,  hasil survei mana pun yang hendak dijadikan pegangan, asal diingat saja bahwa surpol berbeda dengan survei dalam pengertian ilmiah. Sekali lagi, semua itu hanya surpol, survei politik!

Salam Kompasiana!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun