Opa Nani adalah bungsu dari saudara ayah ibu saya. Mereka bersaudara 9, lelaki 7 dan 2 perempuan. Tujuh sudah meninggal, tinggal opa Nani dan seorang saudari perempuannya (Oma Gina) yang kini berusia 92, tinggal di Soe, TTS. Opa Nani sendiri berumur 88.
Ibu saya adalah anak sulung dari kakak tertua opa Nani. Jadi usia ibu dan opa Nani hanya terpaut 6 tahun.
Sejak istrinya meninggal 2005 opa Nani memilih tinggal di rumah kecil di sawahnya. Dulunya hanya ditinggali setiap menjelang dan selama masa panen. Letaknya di sebuah lembah cekung yang dikelilingi perbukitan. Rumah itu terletak di sisi atas areal persawahan yang luas keseluruhannya mendekati 0,5 Ha. Sebagai wilayah yang kurang sumber air sawah itu hanya dikerjakan sekali dalam setahun, setiap musim hujan. Opa Nani mengerjakannya.
Maka, setelah natal 2015 saya pulang kampung hendak merayakan tahun baru. Tepat tanggal 31 Desember, ketika matahari senja sudah berada di balik punggung perbukitan barat, kami berempat: saya, ibu saya, anak paman saya (saudara lelaki ibu) Nobe, serta anaknya (cucu paman) Lita, menuruni lembah lewat jalan setapak menuju istana opa Nani. Cuaca masih terang. Ketika melewati pagar masuk ke areal persawahan, terlihat tanaman-tanaman rimbun tak terawat. Ketela, singkong, dan semak maupun tumbuhan lainnya tumbuh bersama dan akrab berbagi ruang.
Di lahan sawah yang belum ditanami karena terlambatnya musim hujan tumbuh subur sejumlah tanaman, antara lain sejenis tomat yang buahnya kecil-kecil, tumbuh menyebar di beberapa titik, cabe rawit, pare, dan sejumlah tanaman bumbu-bumbuan seperti seledri, kemangi, dan lainnya.
Opa sedang duduk di dipan bambu di depan rumah. Rupanya ia baru saja selesai memberi makan ternak peliharaannya; beberapa ekor babi serta ratusan ekor ayam kampung. Hanya saja, ayam-ayamnya sudah mulai naik pohon. Di depan rumah terdapat beberapa pohon rimbun, antara lain Kesambi dan Kapuk (randu) tempat ayam-ayam itu berteduh di waktu malam.
Opa meminta Lita membuat api di tungku untuk memasak air agar kami bisa ngopi bareng. Saya membawakan kopi bubuk dari Dili, Timor Leste. Tetapi opa sendiri punya stok kopi lokal yang masih banyak. Setelah air mendidih kami pun siap menikmati kopi panas. Ternyata opa tidak punya cangkir atau pun gelas. Media yang digunakan untuk minum kopi terbuat dari tempurung kelapa hasil buatan tangannya sendiri. Tentu saja ukurannya menjadi terlalu besar untuk segelas kopi.
Lita mengambilkan kami masing-masing “semangkuk tempurung” dengan sendok, kopi bubuk, gula dan air panas. Masing-masing seduh sendiri sesuai kemampuan, menakar komposisi kopi, gula dan air sesuai selera. Dibawah udara senja yang sejuk, dengan tiupan angin meluruh lekukan lembah membuat aroma kopi merebak tercium harum dengan rasa yang ektstastik. Lembah cengkokan yang kecil itu seakan dipenuhi aroma kopi, menyebar membau udara pedesaan. Apalagi diseruput langsung dari bibir tempurng terasa memunculkan sensasi unik dan menawan. Seakan ikut mengokohkan taste dan karakter dasar kopi. Fantastik! Ada pilihan lain, yaitu dengan menggunakan sendok. Kebanyakan memilih cara ini disebabkan terlalu panas sehingga beresiko bila diseruput langsung dari mangkok. Apalagi karena bibir mangkok tempurung terlalu lebar, bagi yang tidak terbiasa akan sedikit sulit mengontrol volume yang pas untuk dinikmati. Sejenak saya merasa tersedot dalam terowongan waktu, terlempar ke 30-an tahun lalu ketika masih sebagai kanak-kanak di musim panen berlarian di persawahan mencari tikus sawah, tekukur, atau udang dan belut di malam hari. Sebuah surga yang pernah akrab dalam kehidupan ku.