[caption caption="Foto Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dan pakar hukum Tata Negara, Profesor Yusril Ihza Mahendra (Sumber: http://www.tribunnews.com)"][/caption]
Keinginan Prof.Yusril Ihza Mahendra untuk head to head hadapi Ahok di Pilgub DKI 2017 seharusnya kabar baik bagi masyarakat DKI. Seorang pakar tata negara, dengan segudang protofolio di belantika politik nasional, antara lain sebagai pendiri parpol PBB, penulis pidato presiden Suharto, pengalaman dua kali sebagai capres, lalu bersedia “turun level” demi DKI. Bukankah itu keberuntungan bagi masyarakat DKI?
Yusril termasuk dalam kategori “para jenderal politik” dengan kemilau prestasi di masa lalu. Nama besar mereka terbentuk tidak terlepas dari aura Cendana, dibawah rezim Orde Baru polesan the smiling general, Suharto. Ya, baik karena posisi sebagai pendukung, maupun pengkritik rezim. Yusril, Amin Rais, Sri Bintang Pamungkas dan tokoh lainnya mungkin bisa digolongkan sebagai “oposan moderat” terhadap Suharto. Kategori oposan ekstrim adalah orang-orang macam Arief Budiman, George Aditjondro, Kelompok Petisi 45, termasuk Budiman Soedjatmiko yang muncul di ujung era keemasan, dan sebagainya. Meski sebagai oposan, tidak dapat dipungkiri bahwa nama mereka menjadi besar dan berkilat justru berkat “permusuhan” dengan Suharto. Makanya ada guyonan bahwa George dan Arief mulai sakit-sakitan semenjak ditinggalkan sparring partner mereka sehingga mulai tidak lagi latihan.
Para jenderal politik pendukung Suharto sudah jelas kader-kader Golkar, termasuk parpol pecahannya seperti Hanura, Gerindra, Nasdem, dsb. Sebut saja sejumlah tokoh yang masih eksis sampai saat ini, seperti Akbar Tanjung, ARB, Wiranto, Sutiyoso, Prabowo, Agung Laksono, Hayono Isman, Tjahyo Kumolo, dsb. Boleh dikatakan, mereka ini merupakan anak didik langsung dari sang jenderal, maha guru politik.
Baik pendukung maupun oposan, mereka yang mengalami zaman keemasan Orde Baru memiliki “gaya bermain politik” yang relatif sama. Intrik, mengandalkan uang, cenderung feodalistik, dan sejenisnya. Lihat saja, meski Amin Rais dan Yusril termasuk pengkritik Suharto, namun sepak terjang mereka di rimba persilatan politik pasca tumbangnya Orba tidak memberikan warna beda dengan zaman Suharto. Partai politik yang mereka bentuk tidak berkembang pesat seperti diidamkan. Artinya mereka gagal menangkap roh zaman. Pun, parpol bentukan anak didik Suharto tidak tergolong sukses. Penyebabnya sama, yaitu gagal melepaskan politik gaya lama!
Di zaman itu, para anak didik Suharto kemana-mana selalu disambut hangat dan diperlakukan seolah “putra mahkota Cendana.” Mereka di-service secara istimewa, omongan mereka didengar tanpa dibantah seperti anak-anak yang khusuk mendengar dongeng pengantar tidur dari kakek mereka. Apalagi, dengan kerap menyelipkan nama babe atau Cendana didalamnya, woooow itu kata punya daya sedot perhatian yang mengagumkan. Sementara bagi para oposan juga memiliki kelompok pendukung setia di masyarakat, terutama mahasiswa dan generasi muda. Mereka menciptakan idiom, atau jenis humor yang menyentil atau menyindir babe dan Cendana akan membuat pendukung mereka kegirangan lalu sama-sama menikmati pertemuan. Demikianlah, baik pendukung maupun oposan, sama-sama menikmati kharisma dan aroma harum daripada Cendana.
Sayangnya, setelah reformasi, kedua kelompok ini tidak menyadari telah terjadi perubahan “gaya bermain” di lapangan politik. Mereka masih belum bisa melepaskan diri sepenuhnya dari aura Cendana dan daya magik-nya. Sebagai jebolan “universitas Orde Baru,” dan menguasai di luar kepala isi “kitab suci Cendana,” mereka mewarisi kecerdasan, kelincahan, kecerdikan dan kelihaian berakrobat di pentas politik. Mereka bisa disebut sebagai “para jenderal politik” yang sangat terdidik, dengan loyalitas mekanistik yang terkontrol amat ketat. Dengan penuh percaya diri, gaya politik warisan itu dijadikan andalan, lalu berperang sendiri di antara mereka.
Ciri utama gaya politik Cendana adalah:
1. Fulus atau finansial menjadi pelumas utama mesin penggerak politik. Pada masa itu, monopoli penguasaan sumber politik dan ekonomi membuat rezim ini tidak bisa disaingi.
2. Kedekatan dengan kekuasaan. Episentrum pengaruh berpusat pada pemimpin. Kesempatan menduduki jabatan-jabatan publik banyak ditentukan oleh tingkat kedekatan dengan Cendana. Meski levelnya turun di era reformasi, dimana episentrum itu berpindah ke pimpinan parpol, namun modusnya sama.
3. Mengandalkan popularitas; masuknya para artis, istri atau suami politisi (konco-konco Cendana) dimulai pada era ini.