[caption caption="Jokowi dan Prabowo saat Pilkada DKI Jakarta 2012 (Antara/Yudhi Mahatma)"][/caption]
Prabowo sendiri lagi! Anda bisa menilainya, bahwa ia pernah sendirian, lalu dikerumuni olah teman-teman yang buat ramai-gaduh, kemudian ditinggalkan. Ya, sendiri lagi. Sebagai sastrawan yang hobi membuat puisi politik, saya pikir Fadli Zoon sudah selayaknya menulis sejumlah bait kegalauan mengekspresikan perasaan kesendirian itu.
Di tengah suasana ketidakjelasan nasib koalisi KMP yang pernah sangat disegani dan ditakuti, pasca hengkangnya satu persatu parpol anggota koalisi itu, tanggal 6 Februari 2016 Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) merayakan HUT ke 8. Partai besutan Prabowo Subianto itu merayakan HUT-nya secara internal, tidak mengundang parpol lain. Termasuk, tentu saja teman-temannya di (mantan) KMP. Bahkan PKS, sohip Gerindra yang nampak (seolah-olah) setia, juga yang nampak tidak punya pilihan lagi selain menjadi teman Gerindra. Mau mandiri, seperti sikap seolah-olah mandirinya partai Demokrat, atau seperti Gerindra, tidak kuat. Tetapi, mau gabung ke koalisi sebelah bagai cinta bertepung sebelah tangan.
Atas “nasib kesendirian” ditinggal teman-temannya, Prabowo dengan tegar dan suara tegas menguatkan para kader:
“Jangan pernah gentar, surut dan berkecil hati. Terkadang kita merasa sendiri, tetapi itu tidak masalah. Saya mengalaminya dulu di medan pertempuran. Yang namanya pendekar tidak pernah takut untuk berjalan sendiri,” demikian antara lain pidato Prabowo dalam peringatan HUT Partai Gerindra, seperti dikutib dari harian Kompas (7/2/2016). Terkesan sedikit bernada kecewa, namun juga ada energi positif yang dihembuskan dan optimisme yang didengungkan. Metafora sebagai “pendekar” merupakan diksi yang tepat untuk menyuntikkan kekuatan dan optimisme ke dalam tulang sumsum para kadernya, agar bangkit dari “kegalauan politik” yang melanda akibat ditinggal-pergi (kalau tidak mau dikatakan dikhianati) teman-teman (mantan) koalisinya.
Konsitensi Prabowo
Seperti dikemukakannya dalam pidato HUT Gerindra tahun sebelumnya (2015), Prabowo kembali menegaskan posisi Gerindra sebagai oposisi pemerintah, sekaligus terkesan menanggapi penyebarangan Golkar Cs. ke KIH,. “Kalau semuanya satu suara, semuanya menyatakan setuju, apa senang demokrasi seperti itu? Di situlah peran Gerindra (sebagai pengawas dan penyeimbang), dan Gerindra setia dengan peran itu” demikian Prabowo seperti dikutib dari harian Kompas (7/2/2016, hal 1). Di sini terlihat sikap ksatria dan konsitensi Prabowo. Ia punya impian ideal tentang demokrasi. Tetapi juga, memahami pilihan politik Golkar Cs. Masih dari sumber yang sama, ia mengatakan: ”saya tidak mempermasalahkan yang mnemilih mendukung pemerintah. Saya tidak memandang KMP dan KIH. Berbeda itu biasa, tetapi kami yakin dan percaya semua hatinya Merah Putih untuk kebaikan bangsa.” Sebuah sikap yang matang sebagai pemimpin dan negarawan.
[caption caption="Prabowo Subianto saat deklarasi koalisi permanen, Koalisi Merah Putih, di Tugu Proklamasi (KOMPAS.com/DANI PRABOWO) "]
Prabowo tidak ikut-ikutan, meski semua teman-temannya di KMP, yang bahkan awalnya “bermulut besar” ingin membangun koalisi permanen meninggalkannya demi pertimbangan praktis kejar kuasa. Padahal, secara substansial visi politik Prabowo sesungguhnya tidak berbeda dengan Jokowi. Kita ingat, dalam seri debat kandidat Pilpres 2015 yang diselenggarakan KPU dan disiarkan langusng oleh sejumlah media elektronik, tanpa malu-malu Prabowo secara ksatria menyatakan kesetujuannya pada sejumlah pemikiran Jokowi. Baginya, “apa yang baik bagi rakyat, ya harus diakui baik,” tidak bisa disangkal hanya karena dikatakan oleh “lawan” politik. Sekali lagi, ini sikap rendah hati, jujur, dan kstaria. Tidak semua pemimpin memiliki sikap luhur macam ini.
Artinya, berdasarkan substansi visi politik pembangunan, Prabowo sesungguhnya punya alasan kuat menjadi pendukung pemerintahan. Bacalah 6 Aksi Transformasi Bangsa partai Gerindra, seperti tertulis di situs resminya, 6 Program Aksi Partai Gerindra, antara lain misalnya: membangun ekonomi yang kuat, berdaulat, adil dan makmur, membangun kedaulatan pangan dan energi, membangun infrastruktur dan kelestarian lingkungan hidup, serta membangun pemerintahan yang bebas korupsi, kuat dan tegas. Semua itu nampak dalam program-program Jokowi yang telah dan sedang dilakukannya. Tetapi, Prabowo tetap memilih menjadi oposisi. Saya kira alasannya bukan hanya membuktikan sikap ke-ksatria-annya, tetapi juga sebagai bukti Prabowo ingin berkontribusi memelihara dan menumbuhkan kehidupan demokrasi politik yang sedang bertumbuh di Indonesia.
Salam Hormat dan Pesan
Meski bukan pendukung Prabowo di pilpres 2015, saya salut dan menaruh hormat. Bagi saya, Prabowo memiliki sikap, kredibilitas, dan karakter sebagai pemimpin. Tetapi, sayangnya, “orang baik” ini banyak dirusak dan dimanfaatkan oleh orang-orang dekat yang mengerumuninya. Para teman-teman palsu, yang lebih mirip “singa berbulu domba,” baik secara sadar maupun tidak disengaja.
Karena hormat saya Jenderal, bila Anda membaca tulisan ini, saya ingin memberi masukan, yang meski bersifat subyektif, kalau berkenan sudilah memperhatikannya: