Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pesan Tegas Presiden Dibalik Safari Politiknya

15 November 2016   08:09 Diperbarui: 15 November 2016   09:21 1479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pasca Fatwa MUI terkait pidato gubernur (petahana) Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Kepulauan Seribu yang dianggap menista agama dan ulama,  atmosfir di “taman keragaman NKRI”  diselimuti hawa cenderung memanas,  diikuti arak-arakan awan kelabu yang bila salah diantisipasi dapat berpotensi turun badai. Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan cepat membaca arah dan “pergerakan alam” itu, lalu beradu cepat menyikapi dan mengantisipasinya. Ketidaktepatan dan keterlambatan bersikap bisa berakibat fatal.  

Memahami kasus fitnah agama sebagai isu seksi nan sensitif di negeri plural ini,  Presiden Jokowi tidak mau gegabah dan meremehkannya. Bagaimana pun juga, sebagai manusia Indonesia, Presiden Jokowi adalah 100% Muslim, 100% beretnis Jawa, tetapi juga 100% berkewarganegaraan Indonesia. Campur-aduk atribut aksidental ini menyebabkan tegangan dalam masyarakat merupakan tegangan dalam dirinya sendiri.  Dan, sesungguhnya juga merupakan tegangan yang hidup dalam diri setiap warga negara Indonesia.

Menempatkan Jokowi seolah-olah di “seberang” dan diperhadapkan dengan Islam merupakan tindakan keterlaluan. Bagaimana mungkin ia berhadapan dengan dirinya sendiri? Justru Jokowi merupakan sumbangan terbaik Islam bagi NKRI untuk saat ini. Sebaliknya juga, seolah-olah Jokowi berpijak (atau dipaksa tarik) ke “ke-Islaman-nya” untuk dihadapkan dengan NKRI merupakan sikap dan pandangan sesat. Sebab, Jokowi sepenuhnya Islam, sepenuhnya NKRI. Sebagai orang yang lahir dalam budaya Jawa, Jokowi juga mewarisi nilai-nilai lokal yang menjunjung tinggi keseimbangan dan kehidupan harmoni. Bagaimana mungkin ia mengabaikan pentingnya merawat keseimbangan harmonis dari berbagai tarikan atribut pembentuk identitas ke-Indonesia-an itu?

Posisi presiden Jokowi adalah realitas personal manusia Indonesia. Sebagai warga negara ia nasionalis sejati, sekaligus beragama sejati (Muslim, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Kong Hu Cu, agama lokal Nusantara), juga berbudaya sejati menurut ajaran dan kearifan kulturalnya. Manusia Indonesia bukanlah penjumlahan dari ketiga atribut eksterior itu, melainkan satu totalitas utuh dan integral dari ketiganya.

Polarisasi ekstrim akan membelah diri sendiri.  Masyarakat yang terbelah tidak lain adalah  diri yang terbelah. Mempolarisasi dan membelah masyarakat adalah membelah diri sendiri. Seseorang warga negara Indonesia tidak bisa menjadi Islam atau Kristen sejati tanpa menjadi Indonesia sejati. Atau, tidak bisa menjadi Indonesia sejati, tanpa menjadi sejati dalam agama dan budayanya.  Ia harus sejati dalam ketiganya sebagai satu totalitas.

Atas dasar itulah sebagai Presiden, Jokowi merasa perlu menyikapi perkembangan aktual bangsa secara cerdas dan bijak.  Cerdas dalam arti kritis melihat masalah dan memetakannya dengan tepat. Bijak artinya melihat masalah dari berbagai posisi, berbagai sudut pandang, menimbang berbagai kepentingan, dan meletakkannya di atas timbangan yang cermat dengan presisi tinggi untuk memproduksi keseimbangan.

Untuk mencapai titik keseimbangan itu, Presiden Jokowi bersafari politik untuk mengkonsolidasi keutuhan di dua level. Di tingkat massa (civil society) ia menemui berbagai kelompok masyarakat, ormas, tokoh dan ulama. Sementara di level institusi negara, Presiden mengkonsolidasi aparat kepolisian dan tentara dengan semua perangkat pendukungnya. Pun, Presiden memperhitungkan peranan vital media sehingga mengkonsolidasi baik media online maupun media mainstream. Lewat ketiga ranah konsolidasi itu sebenarnya ia berbicara dengan dan  mengkonsolidasi seluruh anggota masyarakat. Artinya, meski safari politik Pesiden hanya menjangkau kelompok-kelompok di atas, namun sesungguhnya dimaksudkan menjangkau semua komponen warga Indonesia. 

Apa pesan dibalik safari politik Presiden Jokowi itu? Apakah sekadar pencitraan? Atau intensi melunakkan gerakan massa Muslim?  Atau wujud nyata membela Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok? Sama sekali tidak ketiganya!

Dalam semua kesempatan dan pertemuannya dengan berbagai komponen masyarakat itu Presiden menyampaikan pesan politik yang tegas dan jelas. Ia menegaskan diri dan posisi sebagai Kepala Eksekutif, Kepala Negara, juga Panglima Tertinggi.  Dalam peran fungsi seperti di atas, Jokowi  men-declare

Pertama; hukum harus ditegakkan. Kasus Ahok hanyalah entry point, tetapi sasaran utamanya adalah penegakan hukum di Indonesia. Ahok sama sekali bukan apa-apa karena NKRI-lah yang utama. Terkait kasus Ahok, Jokowi telah berulang kali menegaskan tidak akan mengintervensi. Frase “TIDAK MENGINTERVENSI,” harus dipahami sebagai “tidak dengan sengaja(maupun tidak sengaja), memengaruhi, membelokkan atau membiaskan proses dan substansi penanganan dari yang seharusnya,” sebagaimana standar penanganan kasus pidana oleh aparat kepolisian dan hukum.  Makna ini harus dimengerti secara proporsional, sebab tindakan mengawal dan mengingatkan aparat untuk bekerja profesional merupakan bentuk intervensi juga. Hanya saja intervensi jenis ini sifatnya positif. Sebagai kepala eksekutif Presiden perlu memastikan semua institusi negara berfungsi baik dan profesional sesuai tugas dan marwahnya agar meyalani masyarakat dan negara secara maksimal. Makanya pesan Presiden terkait penegakkan hukum tidak semata-mata untuk kasus Ahok, melainkan untuk kepentingan pembenahan aspek hukum di NKRI. Penanganan hukum merupakan kewenangan lembaga Yudikatif sehingga undang-undang melarang Presiden memasukinya, kecuali dalam pengertian “intervensi positif” di atas. Kecurigaan, apalagi tuduhan seolah-olah Jokowi memihaki Ahok dalam kasus hukum yang sedang ditangani aparat tidak beralasan. Bahkan dapat dipandang sebagai pelecehan terhadap institusi negara. Polisi harus bekerja profesional dan transparan, karenanya  apapun hasilnya harus bisa diterima semua pihak: bila terbukti salah dihukum (dinaikkan status ke penyidikan), tidak salah dibebaskan.

Kedua; Indonesia adalah negara majemuk. Fakta kemajemukan itu secara filosofis terumuskan dalam mottoBhineka Tunggal Ika,sebagaiciri sekaligus modal sosial masyarakat Indonesia. Di sini aspek persatuan dan kesatuan bangsa menjadi penekanan. Presiden selalu menegaskan keberagaman dan kemajemukan sebagai kekayaan bangsa yang tidak boleh dibiarkan diganggu, dicabik-cabik, dan diadu-domba. Ketika NKRI diproklamasikan kita telah membuktikan kemampuan meramu keberagaman dan kemajemukan dalam satu kesatuan integral sebagai bangsa (nation) modern.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun