Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pembangunan Masjid Fatahillah Bagian dari Pencitraan Ahok?

9 Februari 2016   10:31 Diperbarui: 4 April 2017   18:18 1875
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Kompas.com/Kurnia Sari Aziza Presiden Joko Widodo, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi, Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Tito Karnavian, dan Pangdam Jaya Mayjen TNI Teddy Lhaksmana saat akan meresmikan Masjid Fatahillah, di Balai Kota, Jumat (29/1/2016)."][/caption]

Sebenarnya berita ini sudah basi. Masjid Fatahillah punya Pemprov DKI telah diresmikan oleh presiden Jokowi 29 Januari 2016. Tetapi saya merasa sayang bila tidak sempat membahas sebuah perspektif, yang menurut saya sangat berharga dijadikan pelajaran, yaitu belajar tentang sikap pemimpin sejati, sikap yang ditunjukkan oleh Gubernur DKI Basuki Tjahja Purnama (Ahok), dan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Dalam sambutannya, sebagaimana dikutip dari CNN Indonesia, Gubernur Ahok mengatakan bahwa apa yang ia lakukan, yaitu membangun Masjid Fatahillah, tidak terlepas dari arahan yang diberikan oleh Jokowi saat menjabat sebagai gubernur DKI. Ahok juga menyebut sejumlah proyek lain, seperti Jakarta Smart City (SMC), Light Rail Transit (LRT), dan sebagainya (http://www.cnnindonesia.com/nasional/, diunduh 8 /2/2016).

Ketika tiba giliran sambutan Presiden, Presiden melayangkan kritik terbuka kepada Ahok, “Tadi yang disampaikan Pak Gubernur keliru. Saya kira bukan saya, gubernur sebelumnya juga ingin Balai Kota punya masjid.” Bisa dibayangkan, bagaimana wajah Ahok “ditampar” di muka umum seperti itu. Sumber CNN melaporkan bahwa para tamu undangan yang menghadiri acara peresmian tersebut sontak terdiam mendengar Jokowi mengoreksi Ahok. (Coba juga bayangkan kalau yang mengkritik itu Haji Lulung, M. Taufik, Adhyaksa Dault, Cs? Hahaha bisa berabe kan?)

Tetapi, kemudian sang presiden menegaskan, bahwa justru di bawah kepemimpinan Gubernur Ahok, pendirian masjid itu benar-benar terwujud.

Supaya tidak kehilangan konteks, saya tunjukkan secara utuh ungkapan Jokowi sebagaimana dikutib dari http://nasional.republika.co.id/ (diunduh 8/2/2016): "Saya kira bukan saya saja, tetapi juga gubernur-gubernur sebelumnya yang menginginkan supaya Balai Kota punya masjid. Waktu saya masih jadi gubernur, tidak ketemu lokasi yang pas untuk masjid ini. Tapi akhirnya, di bawah kepemimpinan Pak Ahok, masjid ini bisa dibangun."

Mengapa saya merasa itu penting? Harus diakui bahwa Indonesia saat ini mengalami krisis kepemimpinan. Apalagi di dunia politik dan pemerintahan, mencari pemimpin berkarakter laksana mencari jarum dalam jerami. Lebih banyak kita temui pemimpin yang defisit kredibilitas, minim prestasi, karakter yang lemah, pandai bicara doyan kritik, dan hal negatif lainnya. Bila melakukan sesuatu “yang baik dan bermanfaat” mereka lebih utamakan nilai promosinya, mengundang sebanyak-banyaknya wartawan meliput, lalu beritanya di-blow up, dan sebagainya. Lalu, ke mana-mana mereka bicarakan sebagai hasil kerjanya, muncul di media dan berbicara menunjuk-nunjuk dada. Ini cerminan dari pemimpin miskin prestasi. Karenanya, saling klaim prestasi kerja itu sudah jadi kebiasaan.

Fokus orang-orang miskin prestasi adalah mencari nama, atau terbiasa disebut sebagai “pencitraan.” Pencitraan merupakan “kondisi seolah-olah”, jadi bukan kerja sebenarnya. Membuat polesan seolah-olah bekerja, seolah-olah berprestasi, seolah-olah melayani rakyat, padahal sesungguhnya tidak! Maka, apa yang ditunjukkan oleh Jokowi dan Ahok lewat pembangunan masjid DKI yang telah lama dirindukan ini patut dijadikan teladan. Keteladanan tentang karakter dan sikap pemimpin, yang fokusnya melayani rakyat, dan bukan mencari nama. 

[caption caption="Masjid Fatahillah menjadi masjid pertama yang dibangun di Balai Kota DKI Jakarta, Jumat (29/1). (CNN Indonesia/Aulia Bintang Pratama)"]

[/caption]

Ahok mengatakan yang sebenarnya, bahwa ketika masih sebagai gubernur DKI Jakarta, Jokowi memang mengimpikan perlunya Pemprov punya masjid. Sebuah masjid yang diharapkan Jokowi bisa memberi semangat bagi PNS yang bekerja di Pemprov DKI, juga menjadi pusat kebajikan, keimanan, dan ketakwaan kepada Allah SWT. Dengan penekanan itu, Ahok tidak mau menepuk dada dan mengklaim itu sebagai prestasinya. Ahok hendak mengatakan bahwa dia hanya merealisasikan apa yang telah diarahkan oleh gubernur sebelum dia, yakni Jokowi, yang ketika itu Ahok sebagai wakilnya. Dan, bahwa yang dibuatnya itu adalah untuk kepentingan PNS yang bekerja di Pemprov DKI.

Seperti diberitakan CNN-Indonesia, Ahok berharap saat para pegawai melihat bangunan masjid tersebut mereka, baik yang umat Muslim maupun non-Muslim, ingat Tuhan sehingga tidak berpikir untuk melakukan kejahatan. Artinya, yang jadi fokus Ahok adalah fungsi masjid sebagai pusat pengembangan karakter dan pertumbuhan keimanan para pegawai Pemprov. Jadi, tujuannya bukan cari nama. Ahok toh sudah punya nama, bukan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun