[caption caption="Sumber: http://fsi.fundforpeace.org/"][/caption]Dua hari berturut-turut (29/2 dan 1/3/2016) harian Kompas memuat tulisan tentang Indeks Negara Gagal Indonesia 2015. Bukan karena peringkat Indonesia makin jauh dari “kondisi Negara gagal,” melainkan juga mengingatkan perlunya memperbaiki sejumlah indikator sosial, politik dan ekonomi agar peringkat Indonesia makin baik di tahun-tahun mendatang, menuju Negara Sustainable!
Anda tentu masih ingat sekitar tahun 2012 sempat merebak isu Indonesia sebagai negara Autopilot? Ketika itu, dalam pemerintahan SBY sejumlah pengamat menilai jalannya pemerintahan lebih dikarenakan sistem yang berjalan sendiri, bukan karena kehadiran pemimpin atau pilot. Dikutip dari https://www.intelijen.co.id, digambarkan ketika itu pertumbuhan ekonomi Indonesia memang 6,5 % namun lebih dikarenakan adanya gerakan dari pasar tanpa kawalan kebijakan pemerintah. Harga-harga juga melambung oleh mekanisme pasar tanpa langkah riil pemimpin. Pemimpin, mulai dari presiden, menteri, gubernur, bupati hingga walikota dianggap membiarkan pesawat terbang sendiri, dan tidak bertindak mengarahkannya ke arah yang benar.
Isue “negeri autopilot” itu berawal dari Sarasehan Anak Negeri tanggal 12 Januari 2012 yang diselenggarakan oleh Metro TV, dengan tajuk “Penyelamatan Negara Autopilot.” Keadaan Negara autopilot ditandai sejumlah fakta, selain pertumbuhan ekonomi yang disebutkan di atas, juga harga sembako yang terus naik tak terkendali, kenaikan harga BBM, pembangunan infrastruktur yang mandek, pembiaran terhadap konflik-konflik agraria, kekerasan atas nama agama, dan sejenisnya.
Belum lagi premanisme, merebaknya korupsi, peredaran narkoba sampai ke semua level masyarakat, terorisme, pelanggaran HAM, dan sebagainya. Semua itu membuat pemerintah seakan-akan tak berdaya, bahkan kehadirannya tidak dirasakan. Citizen (warga Negara) bagaikan anak ayam tanpa induk!
Bila keadaan “autopilot” itu terus dibiarkan maka Indonesia akan bergerak lambat namun pasti, menuju kategori Negara gagal (Failed States). Menurut Fund for Peace (https://id.wikipedia.org/wiki/Negara_gagal) keadaan Negara gagal dicirikan oleh kondisi umum dimana pemerintah pusatnya sangat lemah atau tidak efektif sehingga kekuasaan praktis di sebagian besar wilayahnya begitu kecil, layanan publik buruk, korupsi dan tindak kejahatan meluas, adanya pengungsi atau perpindahan penduduk tak terkendali, juga memburuknya ekonomi secara tajam.
Fund for Peace (FFP) adalah sebuah organisasi penelitian dan pendidikan non-profit yang bermarkas di Washington DC. Sejak tahun 2005 lembaga ini mengeluarkan Indeks Negara Gagal (Failed States Index). Indikator-indikator negara gagal disusun dengan meliput variabel-variabel Sosial, Ekonomi, dan Politik. Hingga terakhir, 2015 indeks ini terklasifikasikan dalam empat tingkatan (level), mulai dari tingkat yang paling mengkhawatirkan (rapuh/gagal) sampai yang paling sustainable. Keempat tingkatan itu adalah Alert (Waspada!), Warning (Peringatan), Stable (Stabil) dan Sustainable (Berkelanjutan).
Bagaimana posisi Indonesia?
Sejak pertamakali dipublish, peringkat Indonesia terus mengalami trend postitif.
[caption caption="Sumber: http://fsi.fundforpeace.org/2015-indonesia"]
Data di atas menunjukkan trend membaiknya “Indeks Negara Gagal” Indonesia, yaitu mulai dari tahun 2006 yang berada di level WARNING kategori HIGH (mendekati 90,00), secara signifikan terus meningkat. Meski tetap di level yang sama namun naik peringkat ke kategori WARNING. Berdasarkan data ini, kita harus akui bahwa sejak awal pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudoyono peringkat ini tercipta, dan terus berkembang hingga akhir masa jabatannya. Kemudian terus meningkat positif di pemerintahan Presiden Joko Widodo.
[caption caption="Sumber: http://fsi.fundforpeace.org/rankings-2015"]