Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Konflik FPI dan Masyarakat Purwakarta, Pelajaran Sederhana Tentang Memaafkan

20 Desember 2015   12:50 Diperbarui: 21 Desember 2015   08:49 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Seperti diketahui, kisruh antara Habieb Rizieq, ketua FPI dan Dedi Mulyadi, bupati Purwakarta berawal dari dugaan pelesetan salam budaya Sampurasun” menjadi “campur racun” oleh Riziek dalam sebuah ceramah agama di Purwakarta. Kejadiannya tanggal 15 November 2015, dan rekaman ceramah itu beredar ke media sosial sehingga menyulut kemarahan masyarakat. Rizieq dilaporkan oleh AMS ke Polda Jawa Barat. "Melecehkan bahasa sebagai budaya kami. Kami sangat tidak menerima. Harga diri kami seperti diinjak," demikian Ketua Umum AMS Noery Ispandji Firman, Rabu, 25 November 2015.  DPP Angkatan Muda Siliwangi (AMS) bersama Aliansi Masyarakat Sunda Menggugat (AMSM) menuntut Rizieq minta maaf, sebuah permintaan yang sebenarnya sederhana dan mudah. Bukankah masyarakat Indonesia itu ramah dan pemaaf? Sayangnya, tuntutan itu tidak kunjung dipenuhi. Alih-alih minta maaf,  FPI balas melaporkan Dedi Mulyadi ke Mapolda Jabar dengan tuduhan pelecehan agama. Ramailah!

Akhirnya berbuntut panjang. Rencana Habieb Rizieq akan mengadakan tabliq akbar lagi di Purwakarta pada hari Sabtu, 19 Desember 2015 pun ditolak. Bentrok fisik tak terhindarkan. Aliansi Masyarakat Sunda Purwakarta sebelumnya telah beberapa kali mengingatkan untuk dibatalkan. Koordinator aksi, Farid Farhan, seperti dikutip dari http://nasional.tempo.co/ tegas mengatakan, "Kami mohon dia balik ke Jakarta, enggak usah repot-repot ceramah kalau isinya menghina budaya Sunda."  

Ceramah agama, macam tabliq akbar dan jenis lainnya tentu  merupakan kegiatan pencerahan budi pekerti dan penanaman nilai luhur agama kepada khalayak (jemaah). Dan, masyarakat Indonesia sangat menghargai nilai-nilai luhur. Mungkin itulah pula alasan, mengapa nenek moyang kita dulu mau menerima agama-agama pendatang seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Lalu, mengapa menolak tabliq? Bukankah mayoritas masyarakat Purwakarta adalah Muslim yang taat, dan jelas juga berkarakter luhur? Saya, yang beragama Krsiten pun rutin mengikuti pengajian, setidaknya sebulan sekali. Lantaran tinggal di Rukun Tetangga (RT) yang mayoritas Muslim, di Pulutan Lor Salatiga, setiap pertemuan bulanan selalu diawali pengajian, sebelum membahas keadaan kampung, informasi kelurahan, dan sejenisnya. Meski tidak mengerti karena tidak pernah dijelaskan ke bahasa Indonesia, saya setidaknya bisa nikmati “lantuman” pengajian dengan khusuk bersama jemaah kaum bapak warga RT.

Lalu, mengapa sebuah ceramah agama yang luhur itu ditolak? Tentu saja yang ditolak bukan ceramahnya, apalagi agamanya, melainkan isi ceramah yang melebar lalu menyenggol martabat budaya. Budaya adalah nilai luhur peninggalan nenek moyang yang dihargai dan dirawat berabad-abat melantasi waktu dan generasi. Ia merepresentasi martabat komunitas. Ia menyatu sebagai logika dan nurani, bahkan cara hidup dan nafas komunitas. Maka, ketika dilecehkan yang terasa ditampar adalah harkat, martabat, dan harga diri. Dalam masyarakat yang waras, sekali lagi  masyarakat yang waras, lebih baik bertarung walau harus mati, daripada hidup dengan harga diri yang terluka. Harakiri  di Jepang merupakan pilihan ksatria atas penegakkan harga diri. Di hampir semua budaya di Indonesia harga diri menjadi unsur paling tinggi dalam “hirarkhi substantif” kebudayaan. Dia adalah inti terdalam dari budaya. Ketika ditanyakan ke seorang teman Papua mengapa kerap terjadi perang antar Suku atau kekerasan dan saling bunuh diantara anggota masyarakat di Papua, ia menjawab, “bagi kami, kehormatan tidak disampaikan dengan kata, sampai kapak, panah, parang dan tombak kami mengungkapkannya”.

Meski mungkin bentuk ungkapan dan bentuk respons berbeda, sikap terhadap pelecehan harga diri budaya di komunitas lainnya di Indonesia relatif akan sama sebagaimana ditunjukkan oleh masyarakat Purwakarta dan Papua. Itu karena masyarakat kita memang waras, sewaras-warasnya. Sadar punya harga diri, terikat padanya sehingga rela berkorban demi menegakkannya. Tidak seperti komunitas Senayan yang terbiasa menginjak-injak harkat martabat sendiri, namun selalu gagal menyadarinya. 

Martabat tertinggi adalah kemampuan memaafkan pihak lain. Bahkan musuh sekalipun. Nelson Mandela, mantan presiden Afrika Selatan yang fenomenal itu mati meninggalkan nama besar nan harum lantaran memaafkan musuh-musuh politik yang memenjarakannya lebih dari 28 tahun. Lin  Johnston, seorang kartunis ternama asal Kanada mengungkapkannya dengan tepat bahwa permintaan maaf merupakan perekat mujarab dalam kehidupan yang dapat memulihkan segala sesuatu (An apology is the super glue of life. It can repair just about anything). 

Hal memaafkan merupakan nilai luhur yang juga hidup berbinar dalam nurani komunitas di Nusantara ini. Itulah sebabnya, meski  masyarakat Purwakarta sudah tersinggung dan  marah, tuntutan mereka hanyalah permintaan maaf. "Permintaan kami sederhana, Habib Rizieq harus menyampaikan permohonan maaf di depan umum. Ya karena dia memelesetkan sampurasun di tempat umum. Jadi pesan kami, segeralah meminta maaf," demikian Sekjen Angkatan Muda Siliwangi (AMS), Denda Alamsyah (http://news.detik.com/berita/). AMS bersama 22 kelompok atau organisasi Sunda membentuk Aliansi Masyarakat Sunda Menggugat guna menuntut Habib Rizieq. Selanjutnya Denda mengatakan, "Kalau sudah meminta maaf, nanti kami bicarakan lagi. Siapa tahu dia (Habib Rizieq) nantinya jadi saudara kami."

Sebuah tawaran persaudaraan yang indah, bukan? Jadi, mengapa tidak mau minta maaf?  Bukankah lebih baik bersaudara daripada bermusuhan?  Dan lagi, bukankah sikap persaudaraan dan perdamaian  merupakan hakikat dan manifestasi dari kehidupan beragama itu sendiri? Minta maaf dan saling memaafkanlah, kawan!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun