Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Jokowi Papers Lebih Membahayakan daripada Panama Papers!

5 Mei 2016   20:13 Diperbarui: 6 Mei 2016   10:24 13363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jokowi | Sumber Foto: nubi

Panama Papers memang bikin heboh. Tetapi, nampaknya Jokowi Papers akan lebih heboh, bahkan menggelegar dan lebih membahayakan. Terutama bagi calon dan publik figur di negeri ini.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) nampaknya selalu dilindungi Tuhan. Bayangkan! Ketika melalui Menpora ia membekukan PSSI banyak pihak geram karena merujuk Anggaran Dasar FIFA dimana pemerintah seharusnya diharamkan campurtangan dalam badan persepakbolaan nasional. Beberapa hari setelah pembekuan itu, lembaga sepakbola dunia itu diterpa bencana korupsi menyebabkan jabatan sejumlah pimpinan tersapu bersih dari kursi keemasannya.

Mereka diciduk aparat hukum di Swiss, yang ironisnya pada saat menjelang penyelenggaraan Kongres yang didalamnya direncanakan membahas kasus PSSI. Tekanan politik dalam negeri pun menurun. Meski Ketua PSSI, La Nyalla masih menguji kelincahannya bergerilya, namun seperti petuah bijak moyang kita, “sepandai tupai meloncat akhirnya jatuh jua,” demikian pula La Nyalla akhirnya resmi ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi. Ia pun menghilang tak tentu rimba dan resmi buron.

Demikian pula, ketika awal mewacanakan perlunya menerbitkan Undang-undang Pengampunan Pajak (tax amnesty) tahun 2015, geliat-geliat bola liar pun rada menggelora. Terutama dari sejumlah kalangan di DPR yang terlihat menolak keras. Entah apa alasannya!

Paska bocornya Panama Papers ke publik internasional, yang memuat nama-nama pengusaha berbagai negara yang menyembunyikan kekayaan di luar negeri dengan maksud menghindari membayar pajak ke negara, termasuk Indonesia, Jokowi pun menemukan momentum emas untuk meng-goal-kan visi besarnya: membawa kembali “dana gelap” yang tersimpan di luar negeri. Meski awalnya banyak pihak terkesan kontra, lambat laun mulai memberi dukungan. Ada pula yang masih galau. Juga, ada yang menolak keras. Mungkin karena terkait?  

Kebijakan yang diperkirakan akan membawa masuk dana 60-an triliun rupiah kembali ke pangkuan ibu pertiwi itu memberi harapan sebagai suntikan darah segar ke kas negara. Dana itu sangat dibutuhkan oleh pemerintah yang sedang gencar membangun infrastruktur di berbagai pelosok negeri. Inilah sasaran jangka pendek Jokowi. Sasaran 2016. Maka, tanpa membuang peluang, Jokowi dengan tegas menyatakan Panama Papers terkait kebijakan tax amnesty yang hendak diberlakukan pemerintah. Sambil meminta agar DPR cepat membahas dan mensahkan RUU yang drafnya sudah diserahkan pemerintah itu (Baca Disini).

Memangnya berapa orang Indonesia yang namanya tercantum di Panama Papers? Seperti dirilis m.tempo.co., setidaknya terdapat 899 individu maupun perusahaan. Sedangkan sumber lain menyebut angka yang jauh lebih besar, yaitu 2.961 (Sumber). Beberapa nama dapat disebutkan antara lain, James Riady, Ketua BPK Harry Azhar Azis, Menteri Rini Soemarno, Menko Polhukham, Luhut Binsar Panjaitan, Pengusaha yang juga bakal calon gubernur DKI 2017 Sandiagoi Uno, Presiden Direktur Adaro Energy Garibaldi "Boy" Thohir dan politikus NasDem Johny G. Plate, beberapa keluarga dekat Jusuf  Kalla, termasuk juga Fifi Lety Indra yang merupakan adik kandung dari Gubernur DKI, Basuki Tjahja Purnama. 

Memang, seperti diakui Menteri Keuangan, maupun Wakil Presiden, tidak semua nama yang tercantum di Panama Papers adalah penjahat. Namun, Presiden Jokowi telah membentuk tim untuk melakukan validasi agar mendapatkan data  yang lebih akurat.

Sayangnya, di meja DPR pembahasan draf  RUU tersebut terkesan tersendat, tarik ulur sebagai gambaran sikap galau. Sebelumnya DPR nampak bersemangat mendukung, yaitu lewat pernyataan ketua DPR Ade Komarudin, yang menyatakan telah diputuskan dalam Rapat pengganti Bamus pada 10 April 2016 untuk dibahas. Namun kemudian terlihat ada kesan tarik ulur. 

Dua pimpinan DPR, Fadli Zon dan Fahri Hamzah kemudian mengkritisi sikap Ketua DPR, Ade Komarudin (Akom) yang dianggap memutuskan pembahasan RUU Tax Amnesty secara sepihak. Umumnya pihak yang menolak mempertanyakan, apakah itu pelaksanaan UU ini akan efektif? Apakah ada yang rela membawa masuk dananya kembali ke Indonesia?  Pertanyaan-pertanyaan yang bersifat asumsi (bukan fakta) harusnya tidak dijadikan dasar untuk membuat keputusan. Lalu, nasib pembahasannya pun simpang siur. Hingga memasuki masa reses 2-16 Mei 2016, RUU  itu bersama RUU Pilkada, yang seharusnya mendesak, tidak sempat dibahas. DPR menang? Tidak juga!  Seperti sebutan mantan Ketua DPR bermasalah etika, Setya Novanto, Jokowi memang koppig, keras kepala.  Sebutan Novanto tidak keliru!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun