#NyalaUntukYuyun (Twitter)
Pemerkosaan keroyokkan hingga pembunuhan super sadis terhadap gadis Yuyun (14) di Bengkulu (2/4/16) yang melibatkan 14 pelaku, kebanyakan masih usia remaja telah membuka mata kita. Mulai dari Presiden yang meminta hukuman seberat-beratnya, Menteri Pemberdayaan Perempuan, Yohana Yembise meminta hukuman mati, Menteri Sosial menuntut hukuman kebiri dan sanksi sosial seperti foto pelaku disebarkan ke publik sebagai pemerkosa. Juga anggota legislatif, tokoh agama, dan kelompok masyarakat dari berbagai kalangan menyuarakan keprihatinan dan tuntutan hukuman seberat-beranya, termasuk hukuman mati bagi pelaku. Tentu ini bukanlah pertama kali kejahatan sadis dengan pelaku para remaja.
Wacana hukuman mati, hukuman kebiri, hukuman berat jenis apa pun untuk para pemerkosa menurut saya tidak akan banyak memberi efek jera. Dengan mengatakan ini saya bukan menentang pemberlakuan jenis-jenis hukuman itu bagi pemerkosa. Saya menyetujuinya untuk alasan keadilan tetapi tidak untuk kepentingan memberi efek jera, yang diandaikan secara otomatis akan mengurangi angka kejahatan pemerkosaan di Indonesia.
Para pemerkosa telah melakukan kejahatan berlapis, juga sadis. Memaksakan kehendak pada orang lain, yaitu memperkosa, apalagi dalam kasus YY yang masih dibawah umur, dan kejahatan menghilangkan nyawa orang lain merupakan kejahatan yang sulit diampuni. Hukuman terberat menjadi cara terbaik menciptakan rasa keadilan masyarakat, menegaskan kepedulian dan kehadiran nyata negara dalam permasalahan warga, juga membuktikan ketegasan dan wibawa Negara dalam menciptakan keamanan, kententaraman, dan tatanan sosial yang baik.
Saya mengatakan tidak ngefek karena beberapa alasan, yang mudah-mudahan faktual dan bisa tervalidasi.
Pertama; CNN Indonesia melansir pernyataan seorang ahli neuropsikologi, Ihsan Gumilar bahwa 90% pelaku kasus pemerkosaan massal di Indonesia adalah remaja. Gumilar selanjutnya mengatakan bahwa terdapat potensi besar muncul kembali kasus pemerkosaan dan pembunuhan massal seperti yang terjadi pada Yuyun di Bengkulu itu (???!!!!).
Bagi saya, fakta ini amat menakutkan. Apa yang terjadi dengan masa depan Indonesia, kalau kejahatan di kalangan remaja sedemikian parah? Di media sudah sering dikabarkan kasus kejahatan lainnya, seperti anak-anak usia sekolah dasar yang membunuh teman sendiri hanya gara-gara hal sepele (http://duniabaca.com/sangat-miris-anak-anak-sd-ini-tega-membunuh-temannya-sendiri.html). Kalau kita googling dengan memasukan kata kunci “kriminalitas remaja,” kita akan dapatkan data dan informasi yang sangat banyak, meneybar di seluruh pelosok negeri. Fakta ini sungguh mencengangkan.
Kedua; fakta pembiaran. Membaca tulisan di lapak kompasioner Arako (Publik Heran Kasus Yuyun, Saya Tidak) saya jadi paham. Selanjutnya, dengan menggunakan kata kunci yang diberikan penulis, saya mendapatkan gambaran nyata di TKP betapa daerah Padang Ulang Tandik (PUT), tempat Yuyun diperkosa dan dibunuh secara sadis itu sesungguhnya sudah sangat lama dikenal sebagai “area merah” di Bengkulu. Sama dengan sejumlah lokasi lain di Indonesia, termasuk juga Jakarta yang sejak Jokowi dan Ahok memimpin DKI sudah dicoba dilawan. Jadi, area-area merah terjadi karena pembiaran oleh pemerintah. Tidak ada alasan lain. Bukankah “area merah” merupakan lokasi dimana bukan negara, melainkan kelompok tertentu dari masayarakat yang berkuasa? Lalu, di mana negara?
Fakta ketiga; kejahatan di kalangan “orang dewasa” juga tinggi. Mulai dari korupsi, narkoba, sikap saling fitnah dan saling menjatuhkan, dan sejenisnya. Orang dewasa pelaku kejahatan ini berasal dari berbagai kalangan, mulai dari pejabat negara, kalangan agamawan, tokoh publik, pelaku pendidikan, dan sebagainya. Keseharian media memberitakannya, dan menjadi konsumsi keseharian pemirsa atau pembaca, termasuk di dalamnya anak-anak dan remaja.
Dengan ketiga fakta di atas, menurut saya hukuman terberat sejenis hukuman mati sekali pun, tidak serta merta menghilangkan perilaku pemerkosaan dan berbagai bentuk kejahatan di kalangan remaja. Bentuk sanksi hukum itu hanyalah sejenis “obat penenang,” dan bukan obat mujarab untuk memberi kesembuhan total. Kejahatan di kalangan remaja memiliki cakupan yang amat luas, karenanya harus menjadi persoalan serius bagi bangsa Indonesia. Penyelesaiannya haruslah terintegrasi dan total. Saya mengusulkan beberapa hal untuk dipertimbangkan dalam kerangka itu.
Pertama; faktor keluarga. Saya selalu mengatakan bahwa “tidak pernah ada sampah masyarakat. Yang ada adalah sampah keluarga yang dibuang ke masyarakat.” Anak-anak adalah peniru sejati. Mereka belajar dan bertumbuh sepenuhnya dengan meniru. Dan, keluarga adalah kesehariannya melihat, mengamati dan meniru. Penguatan dan pemberdayaan keluarga diperlukan, karena “level dasar” dari pendidikan anak manusia adalah keluarga. Keluarga perlu memiliki semacam “kurikulum pendidikan” untuk memastikan anak-anak mendapatkan nutrisi moral dan pengetahuan yang cukup sebagai bekal bagi kehidupannya.