Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Hasil Sidang Etik MKD Melanggar Hukum Logika!?

16 Desember 2015   21:36 Diperbarui: 19 Desember 2015   18:38 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam berbagai pernyataan saya di medsos beberapa hari terakhir sebelum sidang keputusan pelanggaran etika MKD yang berujung pada pengunduran diri Setya Novanto sebagai Ketua DPR-RI, saya dengan tegas menunjukkan keraguan dan pesimisme.  Keraguan itu bukannya tidak berdasar. Fakta-fakta dan data yang tersuguhkan di hadapan publik begitu transparan dan observable menjadi saksi hidup!

Mulai dari rekaman pembicaraan yang diputar di persidangan MKD yang diperkuat  pandangan dan nalar publik, termasuk pendapat ahli bahasa, ahli politik, pakar etik, juga pandangan para tokoh agama yang mengarahkan kesimpulan kuat pada kebenaran tuduhan pelanggaran etik oleh Setya Novanto. Namun ragam pendapat dan tekanan tersebut dengan sengit dilawan oleh Novanto, dengan dukungan penuh dari koalisi KMP. Serangan balik pun melesat mencari sasaran. 

Semua anggota MKD dari KMP dengan jelas-tegas menunjukkan sikap pro Novanto, yang terlihat dalam proses persidangan dengan mengalihkan substansi dari "loby ilegal dan pencatutan nama Presiden" ke gugatan legalitas pelaku perekaman, dan pengadu. Mengamati sikap dan gestur tubuh yang berbeda serta substansi pertanyaan menghadapi teradu, pengadu, dan saksi, termasuk respons terhadap berbagai gugatan membuat publik terang benderang melihat pertarungan frontal dua koalisi yang saling beradu kuat.  Dipertegas lagi oleh pernyataan, bahkan provokasi dari para elit parpol dan fraksi memperkuat dugaan kecenderungan MKD sebagai perpanjangantangan koalisi semata.  

Secara matematis, dengan mengacu pada peta kekuatan dan komposisi, jelas KMP lebih kuat.  Hitungan di atas kertas, kalau voting untuk persidangan terbuka atau tertutup saja, KIH diperdiksi akan kalah dengan skor telak 7:10 atau tipis 8:9 dari 17 anggota MKD.  Maka untuk memutuskan apakah Novanto diberi sanksi etis atau tidak, diprediksi akan dipaksakan lewat mekanisme voting juga.

Dengan paparan fakta macam itu, siapa yang bisa mengharapkan indenpensi keputusan MKD?  Sampai pagi (16/12/15) sebelum sidang pengambilan keputusan berlangsung, aura pesimisme masih kuat berhembus. Di media sosial saya tidak tahan memuntahkan kegalauan dan rasa pesimisme dengan menyebut MKD sebagai penyandang “tuna etika akut.”

Saya pun kehilangan minat mengikuti persidangan MKD untuk pengambilan keputusan karena mengira berlangsung tertutup sebagaimana diberitakan malam sebelumnya. Hasilnya paling seperti sudah diduga!  

Ketika, secara tidak sengaja menemukan live streaming Kompas TV di g-tab, saya tidak tahan godaan mengintip proses persidangan. Dan, betapa tercengang mengikuti pandangan anggota MKD dari Fraksi Golkar, khususnya Ridwan Bae, juga dari fraksi Gerindra. Roh kebaikan apa yang terjadi semalaman sehingga merahmati para anggota MKD ini dengan meluruskan nalar dan membersihkan niat? Sebuah pertobatan massal? Mesti ini hasil kreasi dari sebuah kekuatan super yang melampaui akal. Sebab, kekuatan biasa apa yang bisa membombardir benteng baja pertahanan KMP? Atau justru kebalikannya, yaitu roh jahat yang menguasai sehingga dibalik "sikap baik mendadak" itu tersembunyi petaka yang lebih dahsyat?   

Saya akhirnya menyadari kemungkinan telah keliru, meski tetap yakin membuat kesimpulan dari premis-premis yang valid. Saya menggunakan asas logika induktif  dengan membasiskan penyimpulan diatas kelindan fakta-fakta dan data yang melimpah. Lalu, mengapa kesimpulan bisa sesat? Terjadi loncatan nalar? Falacy?

Dalam hukum logika deduktif, bila premis-premisnya benar maka kesimpulan pasti benar.  Tetapi tidak demikian dengan logika induktif.  Status penyimpulan induktif  selalu bersifat kebolehjadian (kemungkinan benar).  Hal ini kerap tidak disadari oleh banyak orang, baik awam maupun akademisi, peneliti, lebih-lebih “ahli survei” yang gemar menjual kepintaran dalam even-even politik seperti Pemilu, Pilpres, Pilkada, dan sejenisnya.  

Hasil-hasil survei dengan kuantifikasi “fenomena, persepsi dan fakta sosial” tidak selalu memberikan kesimpulan pasti dan kokoh. Itulah yang terjadi pada lembaga survey tim Prabowo dalam pilpres yang dengan percaya diri meyakini kemenangan Prabowo atas Jokowi.  Juga terjadi pada sejumlah pilkada, yang semuanya itu berujung pada gugatan hasil perhitungan real count. 

Mengapa demikian? Penyimpulan induktif bergerak dari data dan fakta observasi ke penyimpulan rasional. Persoalannya, sebagai fondasi bagi bangunan kesimpulan induksi, data dan fakta sosial kerap sangat rapuh serta begerak dengan kecepatan liar yang tidak mudah diprediksi. Apalagi fakta politik Indonesia yang berideologikan kepentingan semata. Ideologi formal Parpol hanyalah jargon tekstual, sementara di level praksis semua politisi memakukan gerak pada hukum kepentingan. Pertimbangan-pertimbangan rasional dan prinsipil menjadi barang langka. Padahal kedua variabel itu memiliki kualitas yang baik untuk dijadikan pijakan penyimpulan. Maka, dengan hanya melandaskan pada fakta kepentingan (politik) yang sifatnya selalu bergerak, seperti air di loyang yang dapat digerakkan kemana-mana, keputusan (konklusi) sebagai produk akhirnya pasti amat rapuh dan sifatnya sangat tentatif. Fenomena sidang etik MKD memberikan teladan nyata atas kerapuhan kesimpulan induktif. Karenanya, jangan terlalu mudah percaya. Bisa menyesatkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun